Pagi itu, Sabtu Pahing, pukul 09.11, aku duduk di ruang tamu rumah sambil menunggu seorang teman. Kami berencana menghadiri pengajian rutin Muslimat yang diadakan setiap Sabtu Pahing. Di tempatku, pengajian ini dikenal sebagai pengajian selapanan — pertemuan yang dilaksanakan setiap 35 hari sekali, mengikuti hitungan penanggalan Jawa.
Dalam penanggalan Jawa, hari tidak hanya dihitung berdasarkan Senin sampai Minggu, tetapi juga dipadukan dengan pasaran: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Pertemuan antara hari dan pasaran itulah yang membentuk siklus selapanan. Dari Sabtu Pahing ke Sabtu Pahing berikutnya berjarak 35 hari. Di banyak kegiatan keagamaan, terutama di lingkungan Muslimat NU dan banom lainnya, hitungan ini masih dijaga dengan rapi: pengajian Sabtu Pahing, Jumat Pon, Rabu Pahing, Ahad Legi, dan seterusnya.
Pengajian Sabtu Pahing selalu dipenuhi jamaah dari berbagai desa di kecamatan kami. Mereka datang bukan hanya puluhan atau ratusan, tetapi ribuan orang. Tujuan mereka satu: tholabul ‘ilmi — mencari ilmu — sebuah kewajiban bagi setiap Muslim.
Di grup WA sudah diworo-woro bahwa acara telah dimulai sejak tadi. Aku pun sudah rapi dan siap berangkat. Tetapi karena sudah terlanjur janji dengan teman untuk pergi bersama, maka aku menunggu di rumah.
Enaknya punya rumah di pinggir jalan. Sambil duduk di ruang tamu, aku bisa melihat lalu-lalang jamaah pengajian yang lewat di depan rumah. Apalagi kali ini lokasi pengajian memang diadakan tidak jauh dari rumahku.
Dari tempatku menunggu, mataku menangkap sosok seorang nenek renta, berjalan pelan sambil menuntun sepedanya. Nenek itu jelas seorang jamaah yang akan menghadiri pengajian Sabtu Pahing. Aku bisa mengenali bajunya: hijau polos dengan bordir hijau yang dipadu benang kuning keemasan.
Ya, aku dan nenek itu sedang menuju tempat yang sama, dalam kegiatan yang sama.
Bedanya, nenek itu tampak melangkah dengan niat yang kuat.
Sementara aku masih diliputi tanya tentang diriku sendiri.
Aku bisa membayangkan betapa napasnya tersengal. Betapa besar tenaga yang harus ia keluarkan untuk sampai ke majelis ilmu. Mungkin ia harus bersiap lebih pagi, menapaki jalanan dengan lutut yang gemetar, dan dada yang terasa sesak. Tetapi ia tetap berjalan. Tetap melangkah.
Apa yang membuatnya sekuat itu kalau bukan niat yang kokoh?
Dan di saat itulah, hatiku terasa gaduh.
Berkali-kali aku mangkir dari pengajian hanya karena alasan yang remeh. Terlalu capek. Terlalu malas. Ingin rebahan. Ingin lebih nyaman. Padahal aku tidak pernah benar-benar sesulit nenek itu. Tubuhku masih kuat. Kakiku masih mampu melangkah. Aku punya motor. Aku punya pilihan.
Yang sering tidak kupunya ternyata hanya satu: kemauan.
Pagi itu tidak ada ceramah yang hingar bingar Tidak ada tausiah yang gemuruh
Tetapi Allah mengirimkan pelajaran lewat langkah tertatih seorang nenek yang ditopang sepeda usangnya.
Terima kasih, sudah menegurku dengan cara yang paling lembut.