Jumat, 12 Desember 2025

Kendalikan yang Bisa, Lepaskan yang Tidak




Kendalikan apa yang bisa dikendalikan dan lepaskan apa yang tidak bisa dikendalikan.

Suatu hari aku membaca sebuah tulisan yang sangat menyentuh. Kira-kira begini bunyinya:

“Tidak ada musim yang salah. Yang ada, pakaian yang kamu kenakan yang salah.”

Aku terdiam cukup lama, merenungi kalimat itu.

Tidak ada musim yang salah. Mengapa? Karena manusia tidak punya kuasa atas musim. Perubahan cuaca, hujan, panas, angin—semuanya berada di luar kendali manusia. Ada rumus agung yang mengaturnya, dan hanya Allah yang mengetahui seluruh perhitungannya.

“Kesalahan” seringkali hanya hidup di kepala manusia. Sesuatu dianggap salah hanya karena tidak sesuai dengan keinginannya. Padahal, apakah sesuatu itu benar atau salah, sering kali bergantung pada sudut pandang siapa. Si A bisa menganggap sesuatu salah, sementara si B justru melihatnya benar. Maka, penilaian manusia tentang benar dan salah sejatinya bersifat nisbi, relatif.

Dalam pengertian lain, musim adalah simbol dari hal-hal di luar diri kita. Hal-hal eksternal yang tidak bisa kita atur sesuka hati. Dan di sanalah kita harus jujur mengakui: manusia memiliki batas.

Tidak semua yang kita inginkan akan berjalan sesuai harapan.

Ketika Allah menurunkan hujan, mau kita suka atau tidak, hujan tetap turun.

Ketika kita ingin seseorang berjalan ke utara, sementara dia memilih ke selatan, kita tak bisa memaksanya begitu saja. Kalaupun kita memaksa dengan kekuatan, hatinya tetap akan menolak.

Orang lain, pikiran orang lain, keputusan orang lain—sering kali berada di luar jangkauan kendali kita.

Lalu kita kembali pada kalimat “ajaib” tadi:

Bukan musimnya yang salah, tapi pakaian yang kita kenakan.

Makna tersembunyi di balik kalimat itu adalah tentang cara kita merespons realitas.

Jika musim dingin datang, maka yang perlu diubah bukan musimnya, tetapi pilihan pakaian kita. Memakai baju tebal atau tipis adalah keputusan kita. Respon kita.

Jika kita memilih mantel tebal, kita merasa hangat.

Jika kita memilih pakaian tipis, kita akan menggigil kedinginan.

Pilihan itulah yang menentukan kenyamanan kita, bukan musimnya.

Di sinilah titik simpulnya: kemampuan memilih respon yang tepat.

Bukan sekadar memilih, tetapi memilih dengan sadar, dengan bijak, bukan asal-asalan yang justru menyulitkan diri sendiri.

Kalimat sederhana itu ternyata menyimpan pelajaran hidup yang sangat dalam.

Kita harus sadar bahwa kita terbatas. Ada hal-hal yang sesuai dengan harapan kita, dan jauh lebih banyak yang tidak.

Memaksa dunia selalu sesuai dengan kehendak kita adalah tindakan yang melelahkan dan sia-sia. Ia menguras energi yang seharusnya bisa kita gunakan untuk hal-hal yang lebih penting.

Yang cerdas bukan mereka yang memaksa dunia berubah.

Yang cerdas adalah mereka yang mampu mengatur respon dirinya sendiri.

Maka pelajarannya menjadi sangat jelas:

Kendalikan apa yang bisa kamu kendalikan, dan lepaskan apa yang tidak bisa.

Jika kamu ingin mengubah dunia, jangan mulai dari dunia.

Mulailah dari cara pandangmu terhadap dunia


Rabu, 10 Desember 2025

Belajar Merawat Jenazah, Muslimat NU Bence Menyiapkan Pelayan Umat

Kematian adalah kepastian. Ia datang tepat pada waktunya, tanpa pernah tertukar. Bagi seorang muslim, ada empat hak muslim yang meninggal dunia yang menjadi kewajiban muslim yang masih hidup yaitu: memandikan, mengkafani, menyolati, dan menguburkan. Keempatnya adalah fardhu kifayah, sehingga menjadi tanggung jawab bersama umat Islam. Bila ada yang melaksanakannya, gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun bila tidak ada, maka semua mendapat dosa.

Di sinilah pentingnya memiliki orang-orang yang belajar dan siap mengurus jenazah—sebuah keterampilan yang tidak hanya dibutuhkan, tetapi juga menjadi ladang ibadah yang besar.

Menindaklanjuti Pelatihan Tingkat Anak Cabang

Beberapa waktu lalu, Bidang Dakwah Muslimat NU Anak Cabang Garum mengadakan pelatihan perawatan jenazah perempuan. Pelatihan ini memberikan banyak pengetahuan sekaligus pengalaman praktis bagi para peserta, terutama mereka yang selama ini terlibat langsung dalam pelayanan kemasyarakatan.

Sebagai tindak lanjut, Ranting Muslimat NU Bence berinisiatif membagikan ilmu tersebut ke tingkat jamaah. Harapannya, setiap sub ranting atau lingkungan memiliki tim perawatan jenazah perempuan yang siap turun kapan saja dibutuhkan.

Kegiatan Perdana: Sub Ranting Bence 1

Kegiatan berbagi ilmu dimulai di Sub Ranting Bence 1. Kegiatan ini tidak hanya berbentuk penyampaian materi, tetapi juga praktik langsung menggunakan manekin. Dengan cara ini, jamaah bisa melihat dan memahami langkah-langkah perawatan jenazah secara konkret.

Penanggung jawab kegiatan adalah Bidang Dakwah Ranting Bence, dengan pemateri dari pengurus yang telah mengikuti pelatihan tingkat Anak Cabang dan sudah terbiasa mengurus jenazah perempuan di lingkungan sekitar.

Di sesi teori, pemateri menyampaikan urutan perawatan jenazah secara rinci. Sesekali beliau menambahkan contoh permasalahan lapangan yang sering berbeda dari panduan tertulis. Hal ini membuat materi lebih hidup dan mudah dipahami.

Kematian: Rahasia Allah yang Menguji kesiapan Kita

Berulang kali pemateri menegaskan bahwa kematian adalah rahasia Allah.

  • Tidak bisa diatur waktunya.
  • Tidak bisa dipilih caranya.
  • Tidak bisa disetting sesuai keinginan kita.

Allah-lah yang menentukan bagaimana seseorang meninggal, di mana tempatnya, dalam kondisi apa, dan apakah aibnya ditutup atau justru dibuka.

Mengingat kematian sering kali membuat kita gentar. Bukan karena takut pada proses matinya, tetapi takut apakah bekal kita sudah cukup. Mengingat kematian membuat kita berhenti sejenak dan bercermin: apa yang sudah kita lakukan dengan hidup ini?

Menguatkan Tradisi Pelayanan Umat

Program ini akan berlanjut ke sub ranting berikutnya. Ranting Muslimat NU Bence berkomitmen membentuk tim perawatan jenazah perempuan di setiap lingkungan, sehingga saat ada warga perempuan yang wafat, ada tim yang siap merawatnya dengan baik, sopan, dan sesuai syariat.

Semoga kegiatan sederhana ini menjadi wasilah kebaikan, memperkuat solidaritas jamaah, dan menambah bekal ibadah untuk kita semua.


Minggu, 07 Desember 2025

Nenek dan Pengajian Sabtu Pahing


Pagi itu, Sabtu Pahing, pukul 09.11, aku duduk di ruang tamu rumah sambil menunggu seorang teman. Kami berencana menghadiri pengajian rutin Muslimat yang diadakan setiap Sabtu Pahing. Di tempatku, pengajian ini dikenal sebagai pengajian selapanan — pertemuan yang dilaksanakan setiap 35 hari sekali, mengikuti hitungan penanggalan Jawa.

Dalam penanggalan Jawa, hari tidak hanya dihitung berdasarkan Senin sampai Minggu, tetapi juga dipadukan dengan pasaran: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Pertemuan antara hari dan pasaran itulah yang membentuk siklus selapanan. Dari Sabtu Pahing ke Sabtu Pahing berikutnya berjarak 35 hari. Di banyak kegiatan keagamaan, terutama di lingkungan Muslimat NU dan banom lainnya, hitungan ini masih dijaga dengan rapi: pengajian Sabtu Pahing, Jumat Pon, Rabu Pahing, Ahad Legi, dan seterusnya.

Pengajian Sabtu Pahing selalu dipenuhi jamaah dari berbagai desa di kecamatan kami. Mereka datang bukan hanya puluhan atau ratusan, tetapi ribuan orang. Tujuan mereka satu: tholabul ‘ilmi — mencari ilmu — sebuah kewajiban bagi setiap Muslim.

Di grup WA sudah diworo-woro bahwa acara telah dimulai sejak tadi. Aku pun sudah rapi dan siap berangkat. Tetapi karena sudah terlanjur janji dengan teman untuk pergi bersama, maka aku menunggu di rumah.

Enaknya punya rumah di pinggir jalan. Sambil duduk di ruang tamu, aku bisa melihat lalu-lalang jamaah pengajian yang lewat di depan rumah. Apalagi kali ini lokasi pengajian memang diadakan tidak jauh dari rumahku.

Dari tempatku menunggu, mataku menangkap sosok seorang nenek renta, berjalan pelan sambil menuntun sepedanya. Nenek itu jelas seorang jamaah yang akan menghadiri pengajian Sabtu Pahing. Aku bisa mengenali bajunya: hijau polos dengan bordir hijau yang dipadu benang kuning keemasan.

Ya, aku dan nenek itu sedang menuju tempat yang sama, dalam kegiatan yang sama.

Bedanya, nenek itu tampak melangkah dengan niat yang kuat.

Sementara aku masih diliputi tanya tentang diriku sendiri.

Aku bisa membayangkan betapa napasnya tersengal. Betapa besar tenaga yang harus ia keluarkan untuk sampai ke majelis ilmu. Mungkin ia harus bersiap lebih pagi, menapaki jalanan dengan lutut yang gemetar, dan dada yang terasa sesak. Tetapi ia tetap berjalan. Tetap melangkah.

Apa yang membuatnya sekuat itu kalau bukan niat yang kokoh?

Dan di saat itulah, hatiku terasa gaduh.

Berkali-kali aku mangkir dari pengajian hanya karena alasan yang remeh. Terlalu capek. Terlalu malas. Ingin rebahan. Ingin lebih nyaman. Padahal aku tidak pernah benar-benar sesulit nenek itu. Tubuhku masih kuat. Kakiku masih mampu melangkah. Aku punya motor. Aku punya pilihan.

Yang sering tidak kupunya ternyata hanya satu: kemauan.

Pagi itu  tidak ada  ceramah yang hingar bingar Tidak ada tausiah yang gemuruh

Tetapi Allah mengirimkan pelajaran lewat langkah tertatih seorang nenek yang ditopang sepeda usangnya.

Terima kasih, sudah menegurku dengan cara yang paling lembut.


Minggu, 07 September 2025

Naik Kereta, Belajar Hidup

Usiaku sudah kepala lima. Tepatnya lima puluh enam jalan. Anak pertama ku sudah berusia tigapuluh dua tahun, anak keduaku berusia duapuluh enam tahun. Dulu ketika masih gadis aku pernah berkeinginan  memiliki 3 anak laki-laki. Kubayangkan saat itu akan akan menjadi seorang ratu di rumahku yang semuanya laki-laki. Ternyata keinginanku tak kesampaian. Diambil hikmahnya saja. Mungkin bila keinginan itu terpenuhi, aku akan kerepotan. Tentu mengasuh anak laki-laki tidak sama dengan mengasuh anak perempuan. 

Mendampingi anak-anak, menjadi orangtua, menurutku penuh drama. Ketika mereka masih kecil dan aku juga masih labil, aku menjalaninya begitu saja. Kalau urusan fisik seperti memberi makan, menenangkan bila mereka rewel, melakukan yang terbaik saat mereka membutuhkan bantuan, mengajari mengeja kata atau bernyanyi adalah hal yang bisa dipelajari. Toh aku tidak hidup sendirian. Aku hidup bersama orang-orang baik yang akan menyarankan ini dan itu agar aku terbebas dari kesulitan. 

Tetapi ketika kita harus menentukan arah kemana kita akan mengantar mereka, sungguh itu adalah keputusan kita sepenuhnya. Apakah mereka kita antar menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, pemberani atau sebaliknya, adalah kita yang memutuskannya. Orangtuanya terkhusus ibunya. 

Dulu ketika mereka masih anak-anak aku mencoba memahami apa yang mereka pikirkan dan mereka inginkan -meski tidak sepenuhnya berhasil. Selalu terjadi pertentangan di sana sini yang berujung drama. 

Beberapa kali kami harus bepergian ke luar kota untuk urusan tertentu. Misalnya mengunjungi saudara, menghadiri undangan pernikahan, takziah dan juga keperluan yang lain.Melibatkan anak-anak dalam perjalanan itu merepotkan tetapi mereka sangat menikmatinya. Karena aku seorang guru, aku tahu betapa pentingnya memberi pengalaman belajar kepada mereka. Maka setiap kali melakukan perjalanan aku berusaha memastikan bahwa ada pengalaman belajar bermakna yang mereka peroleh. 

Salah satunya adalah pengalaman belajar Naik kereta. Mereka ku ajak mengamati apa saja yang mereka temui. Di peron kereta, penjaga loket dan kepala stasiun. Pokoknya apa saja yang mereka temui kita obrolkan. 

Setelah mereka beranjak remaja, aku mulai berpikir untuk mengajari mereka SOPnya bepergian. Cepat atau lambat mereka akan melakukannya dan aku harus mempersiapkannya. Maka kutantang mereka untuk pergi sendiri. Dan mereka setuju. 

Untuk itu mereka melakukannya secara bertahap. Di mulai dengan  mencatat hal penting yang harus dilakukan kalau melakukan perjalanan. Apa yang harus dibawa, hal apa yang mungkin terjadi selama perjalanan, apa yang harus dilakukan bila ada pedagang asongan, makanan apa yang boleh dibeli dan makanan apa yang harus dihindari. Mereka juga harus waspada dengan orang di sekitar -saat itu banyak sekali kejadian horor di gerbong kereta. Juga bagaimana minta ijin kepada penumpang yang menggunakan bangku semaunya.   Kami diskusikan semua itu dalam perjalanan kami. 

Setelah dirasa siap, kami memutuskan pergi bersama tetapi duduk di gerbong terpisah dan bertindak seolah-olah kami tidak saling mengenal. Kami baru akan bertemu di stasiun tujuan. 

Wah ekspresi mereka luar biasa. Seperti baru melakukan petualangan hebat. Aku jadi ingat kisah lima sekawan yang pernah kubaca. 

Tibalah saatnya mereka melakukan perjalanan sendiri. Benar-benar sendiri dari awal hingga akhir. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat melepaskan mereka. Waktu rasanya berjalan sangat lama. Untunglah saat itu sudah ada HP meskipun jadul. Kami saling berkirim pesan. Aku memberi instruksi melalui SMS tentang angkot apa yang harus ditumpangi dan bagaimana menghindari rayuan tukang becak. Maklumlah usia mereka masih SMP saat itu. 

Pengalaman si bungsu lebih drama lagi. Di perjalanan pertamanya, kereta yang ditumpangi harus berhenti dan tidak melanjutkan perjalanan karena ada gangguan. Ia bersama dengan penumpang lain harus berpindah angkutan untuk melanjutkan perjalanan. Padahal ia belum pernah naik angkutan selain kereta. Lewat SMS aku menyemangatinya dan memberikan arahan apa yang harus  dilakukan.

[Cobalah bertanya penumpang di sebelahmu, apakah tujuannya sama]
[Tanyakan dia naik apa]
[Eh tapi perhatikan dengan seksama apakah dia bisa dipercaya]
[Baca shalawat. Terus berdoa, minta agar Allah selalu melindungimu]
[Jangan lupa selalu kabari ibuk]
[Terus komunikasi dengan mbak Kiki]

Ternyata mereka memiliki pemahaman yang berbeda terhadap karakterku. Satu hal yang mereka sepakat, ibunya adalah orang yang suka memberi tantangan tetapi selalu panik sendiri.  

Ketika mereka berdua melakukan perjalanan bersama dari Jogja ke Surabaya. Tiket sudah dibooking dan mereka sudah menunggu kedatangan kereta.  Sambil menunggu kereta datang, mereka asyik ngobrol.  Sampai-sampai mereka tak menyadari kereta mereka bergerak meninggalkan stasiun. Panik dong mereka. 

"Kita harus bilang ibuk!" Kata Kiki 
"Jangan!" Cegah Ami. 
"Ibuk akan panik dan kita akan menerima omelannya panjang lebar. Kamu mau?" 
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?"
"Beli tiket lagi. Yang penting kita sampai dengan selamat"
Kira-kira seperti itulah dialog mereka. 

Mereka benar-benar tidak memberitahuku tentang tragedi ketinggalan kereta itu dan baru menyampaikannya beberapa bulan kemudian.

Tentu saja aku kaget. Mau panik, kejadiannya sudah lewat. Gak jadi panik dong.
"Cerdas! Komentarku atas tragedi itu. 
Dalam hati aku bersyukur mereka berhasil melewatinya dan tetap selamat sampai saat ini 

Kini, ketika mereka sudah dewasa, aku sering tersenyum sendiri mengingat drama-drama perjalanan itu. Ternyata, perjalanan bukan hanya tentang sampai ke tujuan, tapi juga tentang keberanian, kemandirian, dan ikatan hati yang terjalin sepanjang jalan.

Minggu, 31 Agustus 2025

Membaca, Menyimpan dan Menemukan Kembali


Saat masih kecil, ketika mengisi album kenangan, Saya selalu menuliskan hobi: Membaca. 

Dan memang seperti itu. Kegiatan membaca selalu berhasil membuat lupa waktu. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca. 

Oh ya, tugas yang harus saya kerjakan (saat masih kecil) setiap hari adalah menyapu lantai rumah, dari ruang tamu sampai ruang menuju lorong dapur. Setiap kali saya melihat sesuatu yang layak dibaca maka saya akan berhenti sejenak untuk membaca. 

Sejenak? Rasanya tidak. Karena ibu akan selalu berteriak dengan lengkingannya yang panjang untuk mengingatkan bahwa hari sudah semakin siang.
Saya membaca novel, membaca buku motivasi, membaca majalah, buletin atau apa saja. Mengunjungi perpustakaan setiap Minggu adalah hal yang sangat menyenangkan. Yang saya pahami, bahwa membaca adalah cara untuk melupakan masalah dan beban hidup. 

Seiring berjalannya waktu kegiatan membaca tidak seintens ketika saya masih sekolah/kuliah. Kalaupun harus melakukannya membaca bukan lagi saya lakukan dengan relaks tetapi karena tuntutan pekerjaan. Beda ya! Membaca karena tuntutan tentu tidak bisa memilih topik yang kita inginkan. Rasanya, gairahnya berbeda. 

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kunjungan dua orang teman. Entah mengapa saya niat sekali pamer buku usang dan kami berbincang tentang hobi ini. Rupanya dua teman ini juga memiliki hobi membaca. Salah seorang dari mereka bertanya: apa isi buku itu saya terapkan? Waktu itu saya mengatakan bahwa saya pernah membaca buku berjudul: membuka toko. 

Pertanyaan teman ini menggelitik ya. Membuat saya perlu merenung. Saya melakukan refleksi diri, apa yang saya lakukan setelah mendapatkan ilmu dari buku yang saya baca?

Hem... Biasanya sih setelah selesai membaca buku saya lupa isinya. Saya biarkan buku itu teronggok begitu saja. Dari beberapa buku ada point penting yang menarik dan terus menempel di otak. Tetapi tentu tidak banyak yang masih bisa saya ingat. Tetapi ternyata ilmu yang ada di buku itu tidak hilang begitu saja. Meskipun seperti berakhir setelah saya menyelesaikannya. Dia akan muncul suatu ketika -setelah bertahun-tahun kemudian ketika saya menghadapi masalah yang relate dengan apa yang ada di buku itu. 

Membaca memang bukan sekadar hobi, tetapi sebuah perjalanan. Kadang kita merasa isi buku hilang begitu saja setelah menutupnya, namun sebenarnya ia tertanam di sudut ingatan. Pada saat yang tepat, ilmu itu muncul kembali dan menolong kita. Itulah indahnya membaca: ia tidak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu waktu untuk berguna. Karena itu, meski kesibukan sering membuat kita lupa, jangan pernah berhenti membaca. Sebab, satu halaman hari ini bisa jadi jawaban untuk persoalan kita di masa depan


Paling sering dilihat

Kendalikan yang Bisa, Lepaskan yang Tidak

Kendalikan apa yang bisa dikendalikan dan lepaskan apa yang tidak bisa dikendalikan. Suatu hari aku membaca sebuah tulisan yang ...