Kendalikan apa yang bisa dikendalikan dan lepaskan apa yang tidak bisa dikendalikan.
Suatu hari aku membaca sebuah tulisan yang sangat menyentuh. Kira-kira begini bunyinya:
“Tidak ada musim yang salah. Yang ada, pakaian yang kamu kenakan yang salah.”
Aku terdiam cukup lama, merenungi kalimat itu.
Tidak ada musim yang salah. Mengapa? Karena manusia tidak punya kuasa atas musim. Perubahan cuaca, hujan, panas, angin—semuanya berada di luar kendali manusia. Ada rumus agung yang mengaturnya, dan hanya Allah yang mengetahui seluruh perhitungannya.
“Kesalahan” seringkali hanya hidup di kepala manusia. Sesuatu dianggap salah hanya karena tidak sesuai dengan keinginannya. Padahal, apakah sesuatu itu benar atau salah, sering kali bergantung pada sudut pandang siapa. Si A bisa menganggap sesuatu salah, sementara si B justru melihatnya benar. Maka, penilaian manusia tentang benar dan salah sejatinya bersifat nisbi, relatif.
Dalam pengertian lain, musim adalah simbol dari hal-hal di luar diri kita. Hal-hal eksternal yang tidak bisa kita atur sesuka hati. Dan di sanalah kita harus jujur mengakui: manusia memiliki batas.
Tidak semua yang kita inginkan akan berjalan sesuai harapan.
Ketika Allah menurunkan hujan, mau kita suka atau tidak, hujan tetap turun.
Ketika kita ingin seseorang berjalan ke utara, sementara dia memilih ke selatan, kita tak bisa memaksanya begitu saja. Kalaupun kita memaksa dengan kekuatan, hatinya tetap akan menolak.
Orang lain, pikiran orang lain, keputusan orang lain—sering kali berada di luar jangkauan kendali kita.
Lalu kita kembali pada kalimat “ajaib” tadi:
Bukan musimnya yang salah, tapi pakaian yang kita kenakan.
Makna tersembunyi di balik kalimat itu adalah tentang cara kita merespons realitas.
Jika musim dingin datang, maka yang perlu diubah bukan musimnya, tetapi pilihan pakaian kita. Memakai baju tebal atau tipis adalah keputusan kita. Respon kita.
Jika kita memilih mantel tebal, kita merasa hangat.
Jika kita memilih pakaian tipis, kita akan menggigil kedinginan.
Pilihan itulah yang menentukan kenyamanan kita, bukan musimnya.
Di sinilah titik simpulnya: kemampuan memilih respon yang tepat.
Bukan sekadar memilih, tetapi memilih dengan sadar, dengan bijak, bukan asal-asalan yang justru menyulitkan diri sendiri.
Kalimat sederhana itu ternyata menyimpan pelajaran hidup yang sangat dalam.
Kita harus sadar bahwa kita terbatas. Ada hal-hal yang sesuai dengan harapan kita, dan jauh lebih banyak yang tidak.
Memaksa dunia selalu sesuai dengan kehendak kita adalah tindakan yang melelahkan dan sia-sia. Ia menguras energi yang seharusnya bisa kita gunakan untuk hal-hal yang lebih penting.
Yang cerdas bukan mereka yang memaksa dunia berubah.
Yang cerdas adalah mereka yang mampu mengatur respon dirinya sendiri.
Maka pelajarannya menjadi sangat jelas:
Kendalikan apa yang bisa kamu kendalikan, dan lepaskan apa yang tidak bisa.
Jika kamu ingin mengubah dunia, jangan mulai dari dunia.
Mulailah dari cara pandangmu terhadap dunia