Selasa, 28 Agustus 2018

Analogi




“Assalamu’alaikum” suara salam yang kutunggu-tunggu terdengar juga.

“Wa’alaikum salam Warrohmatullohi Wabarakatuh. Masuk!” jawabku mempersilahkan masuk.
Khoirul masuk ruangan dengan langkah gontai. Wajahnya mengisyaratkan kesan betapa tidak bahagianya ia hari ini. Tanpa kusuruh, ia menghempaskan tubuhnya di kursi, di depanku. Kurasa aku harus memilih kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan.

“Rul, kamu tahu mengapa kamu kupanggil?” tanyaku menyelidik.

Khoirul mengangguk. Ah aku tahu, itu adalah anggukan yang setengah hati.

“Gimana ya bu. Saya tidak suka diomeli. Saya risih mendengar orang banyak omong. Lihat saja, semakin saya diomeli, saya akan semakin berulah” katanya dengan nada marah.

Aku menghela nafas. Sejak menjadi wali kelasnya tahun ini, entah berapa kali sudah aku mendapat laporan kebandelannya. Terakhir datang dari Pak Kholili, waka kesiswaan. Kemarin kebandelannya kembali membuat Pak Kholili marah besar. Ia datang terlambat, atribut sekolah tidak lengkap dan membangkang ketika diberi peringatan.

“Ok aku mendapat informasi lengkap tentang masalahmu dengan Pak Kholili. Aku tahu kamu sangat marah. Tapi lupakanlah itu. Hari ini aku hanya ingin ngobrol ringan saja dengan kamu. Aku ingin sharing pengalaman masa laluku. Apa kamu mau mendengarkan ceritaku?” tanyaku.
Ia hanya mendengus. Tapi aku tak peduli.

“Aku nih ya, dari remaja paling tidak suka kalau ada orang hobinya nyuruh nyuruh. Dan aku heran sekali, kenapa dunia ini dipenuhi dengan orang-orang sok. Aku tak habis pikir dengan gaya mereka. Disuruh ini disuruh itu seolah olah aku ini orang dungu yang nggak tahu apa yang seharusnya kulakukan. Padahal sebetulnya nggak kan. Aku tahu mana yang harus kulakukan dan mana yang tidak boleh kulakukan. Aku kan bisa berpikir”

“Cocok! Aku setuju itu. Aku juga merasakan hal yang sama bu, persis seperti yang bu retno bilang itu” potong Khoirul sambil mengacungkan jempol dan bangkit dari rebahnya. Aku sampai kaget dibuatnya.

“Masa sih?” tanyaku berlagak pilon.

“Ya. Aku juga tidak suka dengan orang-orang reseh seperti itu. Sok banget!” umpatnya diliputi kejengkelan.

“Aku ingat. Suatu hari aku melihat halaman rumahku kotor. Kupikir, aku harus menyapunya. Maka akupun pergi mencari sapu dan bersiap untuk menyapunya. Eh ayahku datang dan berkata dengan pongahnya, ayo.. sapu tuh halamannya. Kamu tahu apa yang ingin kulakukan waktu itu?” tanyaku padanya. Khoirul menggeleng.

“Apa bu?” ia malah balik bertanya.

“Aku ingin melemparkan sapuku dan kemudian pergi dari situ”

“Ha…ha…ha…” tawanya pecah. Sambil masih terus tertawa ia mengangguk angguk.

“Hemh.. aku setuju itu bu. Aku juga akan melakukan hal sama kalau aku jadi bu Retno” kata Khoirul di sisa tawanya.

“Iya, karena kalau halaman rumahku bersih orang yang saat itu melihat kami, pasti akan mengatakan ayahkulah yang menjadi penyebabnya. Sama sekali mereka tidak melihat itu karena jerih payahku.  Iya kan?”

Khoirul mengangguk angguk sambil mengacungkan kembali jempolnya

“Tapi aku takut durhaka. Aku simpan saja kedongkolan itu di hati. Lalu aku berpikir bahwa aku akan menghentikan mereka. Aku tidak boleh memberi kesempatan mereka memerintahku. Tidak. Aku tidak mau diperintah”

“Menarik sekali. Gimana caranya?”

“Satu satunya cara membungkam adalah dengan tidak memberi kesempatan kepada mereka menyuruhku”

“Caranya?”

“Kulakukan tugasku dengan baik sebelum mereka menyuruhku. Pendek kata, kututup rapat-rapat kesempatan mereka menemukan kekuranganku. Dan aku berhasil”
Khoirul mengernyitkan dahinya.

“Bingung ya?” tanyaku.

“Jadi begini, kalau kamu mau, cobalah caraku. Berjalanlah di atas rel. Ikutilah aturan yang berlaku. Tata tertib sekolah menyebutkan jam belajar jam tujuh pagi. Datanglah lebih awal. Aturan sekolah menyebutkan pada saat upacara siswa harus mengenakan atribut lengkap. Ikuti aturan itu. Kenakan atribut lengkap. Jangan berpikir kamu lakukan itu untuk menyenangkan petugas tatib. Tidak ada urusannya dengan mereka. Urusanmu adalah aturan yang sudah kamu sepakati sejak awal kamu masuk sekolah ini. Melanggar tata tertib hanya akan memberi peluang petugas tatib menunjukkan kepongahannya. Padahal itulah yang membuat mereka bangga. Mereka hanya ingin terlihat punya kekuasaan”

Khoirul manggut-manggut dengan khidmat. Kurasa, kali ini aku sudah melakukan tugasku dengan baik. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...