“Assalamu’alaikum” suara salam yang kutunggu-tunggu
terdengar juga.
“Wa’alaikum salam Warrohmatullohi Wabarakatuh. Masuk!”
jawabku mempersilahkan masuk.
Khoirul masuk ruangan dengan langkah gontai. Wajahnya
mengisyaratkan kesan betapa tidak bahagianya ia hari ini. Tanpa kusuruh, ia
menghempaskan tubuhnya di kursi, di depanku. Kurasa aku harus memilih kata-kata
yang tepat untuk memulai pembicaraan.
“Rul, kamu tahu mengapa kamu kupanggil?” tanyaku menyelidik.
Khoirul mengangguk. Ah aku tahu, itu adalah anggukan yang
setengah hati.
“Gimana ya bu. Saya tidak suka diomeli. Saya risih mendengar
orang banyak omong. Lihat saja, semakin saya diomeli, saya akan semakin
berulah” katanya dengan nada marah.
Aku menghela nafas. Sejak menjadi wali kelasnya tahun ini,
entah berapa kali sudah aku mendapat laporan kebandelannya. Terakhir datang
dari Pak Kholili, waka kesiswaan. Kemarin kebandelannya kembali membuat Pak
Kholili marah besar. Ia datang terlambat, atribut sekolah tidak lengkap dan
membangkang ketika diberi peringatan.
“Ok aku mendapat informasi lengkap tentang masalahmu dengan
Pak Kholili. Aku tahu kamu sangat marah. Tapi lupakanlah itu. Hari ini aku
hanya ingin ngobrol ringan saja dengan kamu. Aku ingin sharing pengalaman masa
laluku. Apa kamu mau mendengarkan ceritaku?” tanyaku.
Ia hanya mendengus. Tapi aku tak peduli.
“Aku nih ya, dari remaja paling tidak suka kalau ada orang
hobinya nyuruh nyuruh. Dan aku heran sekali, kenapa dunia ini dipenuhi dengan
orang-orang sok. Aku tak habis pikir dengan gaya mereka. Disuruh ini disuruh
itu seolah olah aku ini orang dungu yang nggak tahu apa yang seharusnya
kulakukan. Padahal sebetulnya nggak kan. Aku tahu mana yang harus kulakukan dan
mana yang tidak boleh kulakukan. Aku kan bisa berpikir”
“Cocok! Aku setuju itu. Aku juga merasakan hal yang sama bu,
persis seperti yang bu retno bilang itu” potong Khoirul sambil mengacungkan
jempol dan bangkit dari rebahnya. Aku sampai kaget dibuatnya.
“Masa sih?” tanyaku berlagak pilon.
“Ya. Aku juga tidak suka dengan orang-orang reseh seperti
itu. Sok banget!” umpatnya diliputi kejengkelan.
“Aku ingat. Suatu hari aku melihat halaman rumahku kotor.
Kupikir, aku harus menyapunya. Maka akupun pergi mencari sapu dan bersiap untuk
menyapunya. Eh ayahku datang dan berkata dengan pongahnya, ayo.. sapu tuh
halamannya. Kamu tahu apa yang ingin kulakukan waktu itu?” tanyaku padanya.
Khoirul menggeleng.
“Apa bu?” ia malah balik bertanya.
“Aku ingin melemparkan sapuku dan kemudian pergi dari situ”
“Ha…ha…ha…” tawanya pecah. Sambil masih terus tertawa ia
mengangguk angguk.
“Hemh.. aku setuju itu bu. Aku juga akan melakukan hal sama
kalau aku jadi bu Retno” kata Khoirul di sisa tawanya.
“Iya, karena kalau halaman rumahku bersih orang yang saat
itu melihat kami, pasti akan mengatakan ayahkulah yang menjadi penyebabnya.
Sama sekali mereka tidak melihat itu karena jerih payahku. Iya kan?”
Khoirul mengangguk angguk sambil mengacungkan kembali
jempolnya
“Tapi aku takut durhaka. Aku simpan saja kedongkolan itu di
hati. Lalu aku berpikir bahwa aku akan menghentikan mereka. Aku tidak boleh
memberi kesempatan mereka memerintahku. Tidak. Aku tidak mau diperintah”
“Menarik sekali. Gimana caranya?”
“Satu satunya cara membungkam adalah dengan tidak memberi
kesempatan kepada mereka menyuruhku”
“Caranya?”
“Kulakukan tugasku dengan baik sebelum mereka menyuruhku.
Pendek kata, kututup rapat-rapat kesempatan mereka menemukan kekuranganku. Dan
aku berhasil”
Khoirul mengernyitkan dahinya.
“Bingung ya?” tanyaku.
“Jadi begini, kalau kamu mau, cobalah caraku. Berjalanlah di
atas rel. Ikutilah aturan yang berlaku. Tata tertib sekolah menyebutkan jam
belajar jam tujuh pagi. Datanglah lebih awal. Aturan sekolah menyebutkan pada
saat upacara siswa harus mengenakan atribut lengkap. Ikuti aturan itu. Kenakan
atribut lengkap. Jangan berpikir kamu lakukan itu untuk menyenangkan petugas
tatib. Tidak ada urusannya dengan mereka. Urusanmu adalah aturan yang sudah
kamu sepakati sejak awal kamu masuk sekolah ini. Melanggar tata tertib hanya
akan memberi peluang petugas tatib menunjukkan kepongahannya. Padahal itulah
yang membuat mereka bangga. Mereka hanya ingin terlihat punya kekuasaan”
Khoirul manggut-manggut dengan khidmat. Kurasa, kali ini aku
sudah melakukan tugasku dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar