Minggu, 07 September 2025

Naik Kereta, Belajar Hidup

Usiaku sudah kepala lima. Tepatnya lima puluh enam jalan. Anak pertama ku sudah berusia tigapuluh dua tahun, anak keduaku berusia duapuluh enam tahun. Dulu ketika masih gadis aku pernah berkeinginan  memiliki 3 anak laki-laki. Kubayangkan saat itu akan akan menjadi seorang ratu di rumahku yang semuanya laki-laki. Ternyata keinginanku tak kesampaian. Diambil hikmahnya saja. Mungkin bila keinginan itu terpenuhi, aku akan kerepotan. Tentu mengasuh anak laki-laki tidak sama dengan mengasuh anak perempuan. 

Mendampingi anak-anak, menjadi orangtua, menurutku penuh drama. Ketika mereka masih kecil dan aku juga masih labil, aku menjalaninya begitu saja. Kalau urusan fisik seperti memberi makan, menenangkan bila mereka rewel, melakukan yang terbaik saat mereka membutuhkan bantuan, mengajari mengeja kata atau bernyanyi adalah hal yang bisa dipelajari. Toh aku tidak hidup sendirian. Aku hidup bersama orang-orang baik yang akan menyarankan ini dan itu agar aku terbebas dari kesulitan. 

Tetapi ketika kita harus menentukan arah kemana kita akan mengantar mereka, sungguh itu adalah keputusan kita sepenuhnya. Apakah mereka kita antar menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, pemberani atau sebaliknya, adalah kita yang memutuskannya. Orangtuanya terkhusus ibunya. 

Dulu ketika mereka masih anak-anak aku mencoba memahami apa yang mereka pikirkan dan mereka inginkan -meski tidak sepenuhnya berhasil. Selalu terjadi pertentangan di sana sini yang berujung drama. 

Beberapa kali kami harus bepergian ke luar kota untuk urusan tertentu. Misalnya mengunjungi saudara, menghadiri undangan pernikahan, takziah dan juga keperluan yang lain.Melibatkan anak-anak dalam perjalanan itu merepotkan tetapi mereka sangat menikmatinya. Karena aku seorang guru, aku tahu betapa pentingnya memberi pengalaman belajar kepada mereka. Maka setiap kali melakukan perjalanan aku berusaha memastikan bahwa ada pengalaman belajar bermakna yang mereka peroleh. 

Salah satunya adalah pengalaman belajar Naik kereta. Mereka ku ajak mengamati apa saja yang mereka temui. Di peron kereta, penjaga loket dan kepala stasiun. Pokoknya apa saja yang mereka temui kita obrolkan. 

Setelah mereka beranjak remaja, aku mulai berpikir untuk mengajari mereka SOPnya bepergian. Cepat atau lambat mereka akan melakukannya dan aku harus mempersiapkannya. Maka kutantang mereka untuk pergi sendiri. Dan mereka setuju. 

Untuk itu mereka melakukannya secara bertahap. Di mulai dengan  mencatat hal penting yang harus dilakukan kalau melakukan perjalanan. Apa yang harus dibawa, hal apa yang mungkin terjadi selama perjalanan, apa yang harus dilakukan bila ada pedagang asongan, makanan apa yang boleh dibeli dan makanan apa yang harus dihindari. Mereka juga harus waspada dengan orang di sekitar -saat itu banyak sekali kejadian horor di gerbong kereta. Juga bagaimana minta ijin kepada penumpang yang menggunakan bangku semaunya.   Kami diskusikan semua itu dalam perjalanan kami. 

Setelah dirasa siap, kami memutuskan pergi bersama tetapi duduk di gerbong terpisah dan bertindak seolah-olah kami tidak saling mengenal. Kami baru akan bertemu di stasiun tujuan. 

Wah ekspresi mereka luar biasa. Seperti baru melakukan petualangan hebat. Aku jadi ingat kisah lima sekawan yang pernah kubaca. 

Tibalah saatnya mereka melakukan perjalanan sendiri. Benar-benar sendiri dari awal hingga akhir. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat melepaskan mereka. Waktu rasanya berjalan sangat lama. Untunglah saat itu sudah ada HP meskipun jadul. Kami saling berkirim pesan. Aku memberi instruksi melalui SMS tentang angkot apa yang harus ditumpangi dan bagaimana menghindari rayuan tukang becak. Maklumlah usia mereka masih SMP saat itu. 

Pengalaman si bungsu lebih drama lagi. Di perjalanan pertamanya, kereta yang ditumpangi harus berhenti dan tidak melanjutkan perjalanan karena ada gangguan. Ia bersama dengan penumpang lain harus berpindah angkutan untuk melanjutkan perjalanan. Padahal ia belum pernah naik angkutan selain kereta. Lewat SMS aku menyemangatinya dan memberikan arahan apa yang harus  dilakukan.

[Cobalah bertanya penumpang di sebelahmu, apakah tujuannya sama]
[Tanyakan dia naik apa]
[Eh tapi perhatikan dengan seksama apakah dia bisa dipercaya]
[Baca shalawat. Terus berdoa, minta agar Allah selalu melindungimu]
[Jangan lupa selalu kabari ibuk]
[Terus komunikasi dengan mbak Kiki]

Ternyata mereka memiliki pemahaman yang berbeda terhadap karakterku. Satu hal yang mereka sepakat, ibunya adalah orang yang suka memberi tantangan tetapi selalu panik sendiri.  

Ketika mereka berdua melakukan perjalanan bersama dari Jogja ke Surabaya. Tiket sudah dibooking dan mereka sudah menunggu kedatangan kereta.  Sambil menunggu kereta datang, mereka asyik ngobrol.  Sampai-sampai mereka tak menyadari kereta mereka bergerak meninggalkan stasiun. Panik dong mereka. 

"Kita harus bilang ibuk!" Kata Kiki 
"Jangan!" Cegah Ami. 
"Ibuk akan panik dan kita akan menerima omelannya panjang lebar. Kamu mau?" 
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?"
"Beli tiket lagi. Yang penting kita sampai dengan selamat"
Kira-kira seperti itulah dialog mereka. 

Mereka benar-benar tidak memberitahuku tentang tragedi ketinggalan kereta itu dan baru menyampaikannya beberapa bulan kemudian.

Tentu saja aku kaget. Mau panik, kejadiannya sudah lewat. Gak jadi panik dong.
"Cerdas! Komentarku atas tragedi itu. 
Dalam hati aku bersyukur mereka berhasil melewatinya dan tetap selamat sampai saat ini 

Kini, ketika mereka sudah dewasa, aku sering tersenyum sendiri mengingat drama-drama perjalanan itu. Ternyata, perjalanan bukan hanya tentang sampai ke tujuan, tapi juga tentang keberanian, kemandirian, dan ikatan hati yang terjalin sepanjang jalan.

Paling sering dilihat

Naik Kereta, Belajar Hidup

Usiaku sudah kepala lima. Tepatnya lima puluh enam jalan. Anak pertama ku sudah berusia tigapuluh dua tahun, anak keduaku berusi...