Kamis, 06 September 2018

Obrolan di Balik Kursi


Suara obrolan di bangku belakang saya terlalu nyaring. Saya sebetulnya tidak suka mencuri dengar pembicaraan orang lain. Tetapi suara itu nyelonong  saja masuk ke telinga saya. Bagaimana cara menghalanginya?

Sepertinya suara laki-laki dan perempuan yang sudah berusia matang. Sepertinya, karena tempat kami saling bertolak belakang. Saya menghadap ke belakang, mereka menghadap ke depan.
Ibu-ibu yang kira kira usianya 45-an dengan suara parau bercerita tentang tokoh X. Lebih tepatnya curhat. 

Bahasanya, dialeknya khas orang Jawa, menggunakan bahasa Jawa mlipis.  Lawan bicaranya, seorang laki laki berusia kurang lebih sama atau bahkan lebih tua. Suara agak lebih lemah. Suara si perempuanlah yang lebih dominan. Mungkin karena jarak kami sangat dekat. Hanya dibatasi sandaran kursi saja.

Awalnya saya tidak tahu siapa tokoh yang menjadi bahasan mereka. Tetapi kemudian saya menyimpulkan bahwa perempuan itu mengeluhkan sikap suaminya. Dari ceritanya, si perempuan mencoba mendeskripsikan betapa ia sangat terpukul dengan pengabaian suaminya. Si laki-laki menanggapinya dengan penuh simpati.

Saya merenung dalam hati. Haruskah hal seperti itu menjadi bahasan di atas kereta? Dengan teman sperjalanan yang baru saja dikenalnya?  Menggibah adalah hal yang dilarang.  Apalagi ini yang menjadi sasaan adalah suaminya.

Mungkin saja ibu ini sangat tertekan dengan keadaan yang dialaminya. Tekanan yang kuat sehingga dia tidak kuasa menahannya. Akhirnya tumpah. Meluber ke mana-mana. Apakah luberannya itu mengalir ke tempat yang seharusnya?

Apa yang dilakukan si ibu ini sangat beresiko. Awalnya ia hanya ingin mencari simpati dari orang yang ada di sekitarnya. Mendapat respon positif. Mencari orang yang dapat menampung uneg-unegnya agar bebannya sedikit berkurang. Tetapi, bila ia salah memilih teman curhat ia akan terjerumus masuk ke dalam jurang. Tanpa disadari si ibu ini membuka peluang masuknya setan. Bukan penyelesaian masalah, tetapi kehancuran yang akan ia dapatkan.

Rumah atau keluarga adalah tempat kembali. Setelah kita lelah seharian di luar, rumahlah tempat kita melepas penat. Di dalamnya kita temui orang-orang yang menyayangi dan kita sayangi.

Mari kita jadikan rumahku, surgaku!

5 komentar:

  1. Balasan
    1. Salam kenal juga uni zyl. Makasih ya sudah berkunjung.

      Hapus
  2. Mungkin selama ini tidak ada teman bicara

    BalasHapus
  3. Yaaa mungkin sebaiknya jika bercerita ke sesama jenis kelamin saja.

    BalasHapus
  4. Memang kita tidak boleh membuka urusan keluarga ke orang lain apalagi yang baru dikenal. Ini namanya membuka aib sendiri. Ya Allah aku terkadang suka cerita masalah pribadiku ke orang yang baru tak kenal.

    BalasHapus

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...