Kamis, 09 Mei 2019
Marhaban Ya Ramadhan: Ronda dan Blanggur
Setiap kali ramadhan tiba, selalu ada yang berbeda. Waktu adalah dimensi yang tidak pernah sama. Meskipun waktu berulang secara periodik tetapi tetap saja berbeda. Anda tentu sependapat dengan saya.
Cobalah amati, renungkan. Meskipun bulan Ramadhan datang setiap setahun sekali, tetapi yang Anda alami hari ini pasti tidak pernah sama dengan Ramdhan-Ramadhan tahun sebelumnya.
Sudah dua kali Ramdhan, saya melewatkannya hanya berdua dengan suami. Anak-anak sudah pergi menggapai mimpi mereka. Si sulung bekerja di Surabaya. Si bungsu kuliah di Solo.
Nuansa Ramdhan bisa dirasakan di setiap denyut nadi kehidupan. Meskipun satu dua tradisi yang menghidupi nuansa ramadhan mulai bergeser, melemah dan bahkan menghilang tetapi tetap saja ramadhan itu khas. Inilah jaman.
Dulu ketika saya masih kecil, kanak-kanak, hal yang paling menarik adalah ronda dan blanggur. Saya sengaja bangun malam-malam dan mengintip sekelompok anak laki-laki berkalung sarung dengan memukul kentongan yang terbuat dari bambu. Mereka berkeliling kampung sambil teru memukul kentongan mereka membangun irama tertentu. Sekelompok lewat selang beberapa waktu kemudian disusul kelompok yang lain, sambung menyambung. Sayangnya, mereka muncul terlalu malam. Kadang-kadang jam 01.00 sudah ada ronda berkeliling. Niat mereka berkeliling kampung dengan memukul kentongan adalah membangunkan orang untuk sahur.
Seiring dengan berkembangnya jaman, ronda dilakukan dengan menyetel musik dangdut berkeliling kampung dengan sound system yang menggema. Suaranya sangat memekakkan telinga. Kentongan menjadi barang usang yang ditinggalkan. Niatnya masih sama, membangunkan orang untuk sahur. Tetapi niat itu menjadi tercederai ketika warga merasa tidak nyaman dibuatnya. Suara musik yang jauh dari nuansa ramadhan dan volumenya yang memekakkan telinga membuat mayatpun terbangun karenanya.
Blanggur beda lagi. Benda ini selalu dinyalakan pada saat maghrib tiba. Benda ini dinyalakan di bawah dan akan melesat ke atas kemudian meledak di atas menimbulkan bunyi yang sangat keras. Bunyinya bisa didengar orang sekampung.
Bunyi blanggur yang menggema ini sebagai penanda waktu berbuka puasa telah tiba. Sebagai anak kecil waktu itu, yang saya tunggu setiap sore adalah bunyi blanggur. Saya dan beberapa teman akan menunggu di halaman rumah dan selalu memandang ke atas ke arah blanggur muncul di angkasa. Rasa suka tak terperikan bila bisa menyaksikan sekaligus mendengar suara blanggur tersebut.
Entah sejak kapan blanggur menjadi tidak ada. Perhatian saya bergeser begitu saja. Indahnya menunggu maghrib bukan lagi terletak pada suara blanggur yang menggelegar. Cukup suara dzan yang dikumandangkan di masjid saja.
Ronda dan blanggur hanya dua hal yang saya sebut menjadi penanda nuansa ramadhan. Selan itu masih banyak sekali. Semoga saya konsisten menuliskannya di sini.
#ramadahan2019
#hariketiga
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Paling sering dilihat
Belajar dari Kemangi
Foto di atas saya peroleh dari media sosial. Mengapa saya tertarik membagikan foto yang dicaption ini. Pertama saya tidak asing ...
-
Hari ini saya mendapat musibah. e Eh bukan sih. Pembelajaran baru, tepatnya. Ketika saya membuka tab, sinyal internet tidak muncul. Itu...
-
Bismillahirrohmanirrohiim, Jamkos atau jam kosong adalah sebutan populer untuk jam pelajaran yang tidak efektif. Tidak ada kegiatan pem...
-
Bermula dari kebutuhan kotak tisu saat lebaran, timbullah niatan untuk membuat kotak tisu rajut. Setelah browsing-browsing pola cover kota...
wah baru tahu itu ada Blangur, mbak.
BalasHapusIya gak tahu, ditempatku aja atau di daerah lain juga (pernah) ada
Hapus