Minggu, 13 Januari 2019

Mau tahu berapa harga seorang perempuan?



Saya sering sekali mendapat broadcast dari teman. Baik melalui wapri maupun melalui grup. Broadcast itu biasanya membagi ulang informasi atau pesan yang diperolehnya dari temannya atau grup yang mereka ikuti.
Kadang-kadang broadcast dibagi ulang oleh beberapa orang dan beberapa grup. Bisa dibayangkan ya, bagaimana perjalanan pesan itu. Ke mana-mana. Ini yang kadang-kadang membuat teman-teman saya risih. Mendapat pesan yang sama berulangkali.

Tapi saya biasa saja. Saya sudah mensetting HP untuk tidak mengunduh otomatis foto dan video yang masuk. Kalau sudah melihat pengirimnya sama, cukup dibuka salah satu saja. Yang lain diabaikan. Beres. Intinya saya memang tidak ingin menggadaikan waktu saya untuk membaca pesan-pesan yang kurang bermanfaat. Jadi saya selektif  dalam membaca pesan yang saya terima. Ambil yang perlu, sementara yang tidak perlu, abaikan. 



Meskipun demikian, saya sesekali membaca broacast yang saya terima. Biasanya saya melihat dulu siapa pengirimnya. Penting dibaca atau tidak, biasanya tergantung pada siapa pengirimnya. Beberapa teman mengirim broadcast bermutu yang harus dibaca. Untuk broadcast seperti ini, saya bahkan merasa perlu membagikan ke orang-orang yang menurut saya membutuhkan informasi tersebut. 

Iya, saya memang tidak hanya menerima broadcast tetapi saya juga beberapa kali membagi ulang ke teman yang lain. Tetapi saya memilih benar, orang yang akan menerima pesan saya. Hanya orang-orang yang menurut saya membutuhkan yang saya kirimi pesan itu. Karena saya tahu tidak semua orang membutuhkan informasi yang sama. Untuk ini, saya berharap penerima pesan saya juga bersikap sama dengan saya, bisa membaca bila merasa perlu dan silahkan mengabaikan bila merasa tidak perlu. 

Tadi pagi, saya menerima kiriman pesan dari salah seorang teman. Teman saya ini memang beberapa kali mengirim pesan yang dikutip dari berbagai kajian. Pesannya selalu panjang. Tapi saya suka. Saya sempakan untuk membacanya. Saya pahami isinya, saya salin dan saya pindahkan dalam format word.Mengapa? Ya karena menurut saya pesannya baik. Saya perlu menyimpannya, untuk diri sendiri dan siapa tahu suatu ketika ada yang membutuhkan. Pesan lengkapnya bisa dilihat di sini

Saya ingin sedikit membahasnya di sini. Dari judulnya saja sudah menarik yaitu: Perempuan, Price, Value dan Islam. Bagi saya, segala sesuatu yang ngomongin perempuan itu menarik. Apakah karena saya perempuan? Entahlah. 

Saya baca tulisan itu. Awalnya ngomongin tentang rumah, mobil dan segala macamnya. Intinya bahwa setiap benda itu ada harga (price) yang harus dibayar. Besarnya sesuai dengan nilai yang dimiliki benda tersebut. Saya setuju. Tapi dibagian lain, tulisan ini membaliknya. Mengatakan bahwa kapitalislah yang menciptakan anggapan itu dan mengacaukannya. Oh ya? 

Saya terus membaca dan berusaha mengikuti landasan berpikir si penulis dengan statemennya itu. Penulis mengulasnya panjang lebar. Ujungnya, membandingkan tentang perempuan penjaja seks dan istri yang setia. Nah di sini saya harus berhati-hati membacanya. Saya tidak ingin terjebak. 

Katanya, prostitusi adalah bisnis yang memiliki propek bagus bagi beberapa (orang) pedagang. Pedagang adalah pedagang. Dalam kamusnya hanya ada untung dan rugi. Moral, urusan belakangan

Jadi ngomongin prostitusi. Mungkin ini efek berita yang viral beberapa hari terakhir ini. Jadi begitulah. Seks adalah dagangan. Ada penjual ada pembeli. Karena dagangan maka berlaku hukum supplay and demand. Ala ala kapitalis. Semakin banyak permintaan semakin mahal Juga berlaku hukum harga (price)  berkorelasi dengan nilai (value). 

Seorang penjaja seks yang nilainya tinggi (entah  bagaimana mereka menentukan batasan nilai itu seperti apa) akan dibandrol harga yang tinggi pula. 

Lalu berapa bandrol seorang istri? Berapa nilai seorang istri? Kalau dinilai dari sejumlah materi (baca: duit) seimbangkah nilai dan harga para istri yang setia? 

Ah ini bukan berarti para istri menuntut diberi bayaran lebih ya, karena saya yakin istri yang baik tidak meniatkan itu ketika mereka menikah. Bukan itu. Ini hanya sekedar ingin meluruskan bahwa, dalam dunia nyata kita tidak bisa hanya melihat hidup ini sebatas price and value.  Ada kok yang tak ternilai harganya (karena sangat tinggi) tetapi harganya (secara materi) rendah. 

Maka jangan selalu melihat segala sesuatu melalui kaca mata materi. Jangan tertipu. Ketulusan, kasih sayang dan keikhlasan adalah sesuatu yang tak ternilai. Tak ada yang bisa menukarnya dengan materi sebesar apapun. 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...