Selasa, 19 Februari 2019

Ayah



Di tempatku, aku menunduk dalam sambil mempermainkan ujung taplak. Saat itu, aku Ayah dan Ibu duduk mengelilingi meja bundar di ruang tengah. Setengah jam yang lalu, Ayah memanggilku kemudian menyuruhku di kursi yang sekarang kududuki.

Sebetulnya, Ayah bukanlah orang yang menakutkan. Bukan. Kami tidak pernah takut kepadanya. Kami hanya sungkan. Suaranya yang berat dan tegas membuat kami merasa pakewuh untuk berlaku murang tata.

Ibuku, sejak kami masih kecil, selalu mengajarkan bagaimana seharusnya kami bersikap kepada orangtua. Ibu sangat menghormati Ayah. Ibu selalu menempatkan Ayah sebagai sosok yang kajen.

Malam ini, ayah bertanya tentang keputusanku untuk bekerja selepas SMK. Beberapa waktu yang lalu, aku memang matur ibu bahwa aku ingin bekerja selepas SMK.

“Sudah yakin dengan keputusanmu?” tanya Ayah setelah beberapa saat kami berada dalam jebakan kesunyian.

Sampun Yah" jawabku lirih, masih dalam keadaan menunduk. Sejujurnya, aku takut memandang wajah Ayah.

Beberapa kali Ayah bertanya apakah aku ingin melanjutkan kuliah, aku selalu menjawabnya dengan gelengan kepala. Meskipun Ayah tidak pernah memaksa, tetapi aku yakin itu adalah keinginan terpendam Ayah. Ayah ingin membekali aku dengan pendidikan yang baik agar masa depanku baik.

“Setiap keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan. Itulah sebabnya Ayah ingin kamu benar-benar memikirkannya" kata ibu dengan suara lembut. Ibu duduk tepat disampingku.

“Benar kata ibumu" timpal Ayah.
“Keputusan yang kamu buat saat ini akan kamu rasakan labetnya lima, sepuluh atau duapuluh tahun yang akan datang. Kamu tidak bisa memutar kembali waktu kalau keputusan yang kamu ambil ternyata salah". Ayah memberikan wejangannya untuk kesekian kali.

Itulah Ayahku.  Namanya Sarmidi, keturunan Jawa asli. Ayah adalah seorang pendidik yang tegas dan disiplin. Ayah memberlakukan kedisiplinan itu baik di sekolah maupun di rumah. Ayah juga mengajarkan kepada kami untuk hidup sederhana. Rumah kami sederhana, layaknya rumah di desa. Kami hanya memiliki tiga sepeda motor. Satu dipakai Ayah untuk bekerja, mengajar di sebuah SMA di kota kami. Satu saya pakai untuk sekolah dan satu lagi untuk ibu yang juga menjadi pengajar di PAUD dekat rumah kami.

Kadang saya merasa heran, mengapa ayah tidak membeli mobil. Di sekolahku guru-guru mengendarai mobil kalau ke sekolah. Tetanggaku juga banyak yang memiliki mobil. Bahkan ada yang jumlahnya lebih dari satu. Masa sebagai pegawai negeri Ayah tidak sanggup beli mobil? Ketika pertanyaan itu kusampaikan pada ibu, beliau hanya menggeleng. Tanpa mobilpun hidup kita tidak susah, begitu kata ibu.

Ibuku juga seorang perempuan yang bersahaja. Tidak pernah kulihat ibu menggunakan perhiasan. Pakaiannya pun sederhana. Sepertinya ibu bukan kolektor baju dan pernak-perniknya. Ayah dan Ibu seperti wadah dengan tutupnya. Kompak sekali dalam semua hal.

Satu hal yang selalu Ayah katakan kepadaku bahwa aku harus pandai mengambil keputusan. Kata Ayah, tidak ada keputusan yang salah. Yang ada, kemampuan kita menanggung konsekwensi dari keputusan itu. Kalau kamu bisa menanggung akibatnya, ambil. Kalau tidak, jangan diambil.

Ayah selalu menghargai pendapat orang lain. Itu yang membuat saya merasa nyaman di dekat Ayahku. Saya merasa aman ketika harus menyampaikan pendapat yang berbeda. Rambu-rambunya sudah jelas. Setiap keputusan harus ditanggung akibatnya.

Kini, setelah sepuluh tahun berlalu, sejak aku menambil keputusan itu, aku baru ngeh dengan kata-kata Ayah. Semua kata-kata ayah benar.

Keputusanku untuk bekerja ternyata menuntutku untuk menghadapi banyak masalah. Aku belum menguasai cukup ilmu untuk melakukan sebuah pekerjaan. Itulah sebabnya aku harus belajar dengan cara melakukan lebih banyak pekerjaan dan menghadapi banyak tekanan. Kalau sudah begitu, kadang-kadang saya menyesal mengapa saya tidak mengikuti saran Ayah. Tetapi kata-kata Ayah selalu terngiang di telingaku.

Sekarang semua sudah terlewati. Ayah benar, tidak ada keputusan yang salah. Keadaan yang tidak menguntungkan hanya untuk menguji apakah aku keputusan itu sesuai denganku atau tidak.

Ayah, aku rindu.  

#onedayonepost #ReadingChallengeOdop
#Tugaslevel2 
#level2tantangan2


5 komentar:

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...