Minggu, 03 Maret 2019

Mengatasi Pertengkaran Pada Anak-Anak


Anak-anak bertengkar, itu hal biasa. Dimana-mana terjadi. Di sekolah, di rumah, di tempat bermain atau di mana saja. Namanya anak-anak. Egonya masih tinggi. Masih ingin menang sendiri, tidak mau mengalah dan cenderung ingin memiliki semuanya. Sekali lagi, namanya juga anak-anak.

Anak-anak belajar dari apa yang mereka alami, salah satu diantaranya bertengkar. Sederhana saja, mengapa mereka bertengkar? Karena ada diantara mereka yang merasa disakiti. Misalnya mainannya dipinjam paksa atau temannya merusak barang yang dimilikinya. Atau bisa juga karena mereka merasa dicurangi dalam sebuah permainana. Atau bisa juga karena ada diantara mereka yang tidak bisa menerima kekalahan.


Bagaimana sikap kita sebagai orangtua bila menemukan anak kita bertengkar? Yang saya lihat setiap orangtua tidak bisa menerima anaknya disakiti. Biasanya, orangtua akan turuntangan dengan "memenangkan" anaknya. Berdalih A, B, C yang intinya berusaha membenarkan anaknya. Bahkan kadang dibela-belain gegeran sesama orangtua hanya karena anak-anak bertengkar.

Kalau orangtua diam, tentu kurang bijaksana. Anak-anak belum bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka melihat apa yang dilakukan orangtuanya dalam menyelesaikan masalah. Tentu saja tidak semua orangtua bijaksana dalam menyelesaikan masalah.

Pertengkaran pada anak-anak tanpa kontrol orangtua juga rawan perundungan. Anak-anak yang dominan dan temperamental akan cenderung menguasai medan. Ia akan menekan atau mengintimidasi temannya yang lemah. Di sinilah munculnya arogansi. Oleh sebab itu, menurut saya, peran orangtua yang bijaksana sangat berperan dalam meluruskan pertengkaran dan mencegah kasus perundungan.

Ini pengalaman saya ketika anak saya berusia sekitar limatahun. Anak saya perempuan. Di lingkungan kami, ada beberapa anak sebaya teman sepermainannya. Pada suatu hari anak saya pulang dengan wajah ketakutan. Ketika saya bertanya ada masalah apa, ia menjawab bahwa ia mematahkan vcd player tetangga. Ia harus mengganti dengan uang seratus ribu.

Saat itu, melihat wajahnya yang pias karena ketakutan, hati saya hancur. Saya merasa betapa sangat tertekannya anak saya. Saya pikir saya harus menolongnya keluar dari situasi yang menekannya. Untuk membuatnya tenang, saya katakan padanya bahwa saya siap mengganti vcd player yang rusak itu. Mendengar kata-kata saya,  ketakutannya berangsur hilang.

Kemudian, setelah tenang, saya minta dia bercerita tentang kejadian itu. Diapun bercerita. Ia mempunyai mainan boneka parasut yang bila dilempar ke atas, boneka itu akan turun dan mengembang parasutnya. Boneka itu dipinjam oleh temannya. Pada saat bermain boneka parasut, salah seorang temannya menginjak vcd player hingga patah. Tentu saja saya kaget. Apa hubungannya dengan anak saya? Bukankah yang menginjak vcd player itu temannya?

"Karena mainan itu punya saya, jadi saya yang harus menggantinya" kata anak saya.
"Siapa yang bilang begitu?" Tanya saya.
Dia pun menyebut nama temannya.
Mendengar itu saya berpikir bahwa masalah ini harus diluruskan. Maka dengan perlahan lahan saya mengajaknya ngobrol. Anak saya mulai sedikit paham. Selanjutnya saya mengajaknya menemui teman-temannya. Saya tanyakan apakah benar vcd-nya rusak dan apakah benar kejadiannya seperti yang diceritakan anak saya. Mereka menjawab benar. Kemudian saya bertanya siapa yang bersalah dalam hal ini. Mereka diam. Kemudian saya mengajaknya untuk berdiskusi, mencari letak permasalahan dan menentukan pihak yang bersalah dalam kasus itu.

Saat itu sebetulnya tetangga saya yang punya vcd player tidak mempermasalahkan rusaknya benda itu. Mereka memaklumi bahwa itu masalah sepele dan tidak perlu diperpanjang. Mereka juga tidak ingin minta ganti rugi untuk vcd yang rusak. Transaksi itu justru terjadi diantara anak-anak.

Begitulah anak-anak. Mereka mempunyai dunia sendiri. Mereka menyelesaikan permasalahan di antara mereka dengan cara mereka. Menurut Ayah Edi, tokoh parenting yang terkenal itu, anak-anak menyelesaikan masalah dengan cara meniru bagaimana orangtua mereka menyelesaikan masalah. Menurut saya, mungkin juga mereka meniru tayangan yang pernah mereka saksikan atau meniru teman mereka, yang semua itu belum tentu benar. Oleh karena itu, campur tangan orangtua dalam meluruskan dan mendampingi mereka untuk menyelesaikan masalah sangat penting.

Setiap anak memiliki karakter yang berbeda. Dalam satu kelompok selalu ada anak-anak yang mendominasi dan ada juga anak-anak yang lemah. Anak-anak yang lemah inilah yang seringkali menjadi korban perundungan. Beberapa orangtua mengajarkan kepada anak-anaknya untuk memberikan perlawanan agar tidak ditekan oleh temannya. Sementara ada juga orangtua yang mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk memilih jalur aman.

Penting bagi orangtua mengajarkan kepada anak-anak untuk menyelesaikan masalah mereka. Itulah sebabnya anak-anak perlu dilatih berkomunikasi yang efektif. Bukankah sebagian besar konflik dipicu oleh kegagalan dalam berkomunikasi? Dan juga sangat penting mengenalkan "pihak yang bertanggungjawab" kepada anak-anak.

Dengan pendampingan yang benar orangtua terhadap anak-anak diharapkan dapat mengantarkan anak-anak mencapai kedewasaannya. Bagaimanapun, anak-anak adalah tanggung jawab semua orangtua.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...