Selasa, 09 November 2021

Ujian Yang Sesungguhnya

 


Saya pernah mendengarkan nasehat bijak dari seorang yang alim. Beliau mengatakan bahwa sebagian dari kita menjadi ujian bagi sebagian yang lain. Konon, ini adalah potongan dari sebuah ayat dalam kitab suci. 

Saya bukan orang yang ahli dalam hal ini. Tapi kalimat itu begitu meresap dalam hati. Dari berbagai pengalaman dalam kehidupan sehari-hari saya menterjemahkan ketika berhadapan atau bertemu dengan orang yang tidak sejalan dengan kita dan menghalangi gerak langkah kita saat kita yakin kita sudah berada di jalan yang benar, itu adalah ujian. 

Bagi orangtua, anak adalah ujian. Bagi anak, orangtua adalah juga ujian. Bagi guru, siswa adalah ujian juga sebaliknya. Memaknai ujian dalam hal ini adalah sesuatu yang membuat kita berjuang, mengerahkan segala energi untuk menyelaraskan diri dengan orang lain di luar diri kita sendiri. 

Hari ini, saya mendapati untuk kesekian kali, seorang anak tidak ingin masuk sekolah. Segala bujuk rayu bahkan ancaman tidak membuatnya bergeming. Sekolah bukan menjadi minatnya dan itu sangat meresahkan orang-orang di sekitarnya, terutama orangtuanya. Segala cara dilakukan oleh orangtuanya dengan harapan si anak mau masuk sekolah. Namun semua usaha itu sia-sia. Kalau Anda menjadi orangtuanya, apa yang akan Anda lakukan. 

Saya yakin, posisi orangtua di sini sangatlah sulit. Pasti ada pertentangan yang luar biasa. Rasa kasih dan sayang dipertanyakan bentuknya. Apakah membiarkannya tidak sekolah itu tindakan yang tepat? Apakah memaksanya tetap bersekolah apapun caranya adalah tindakan yang tepat? 

Menurut saya, tidak ada jawaban yang mutlak.Opsi pertama boleh jadi benar. Tetapi opsi kedua juga sangat boleh jadi benar. Kebenaran akan diketahui nanti setelah sekian puluh tahun ke depan, setelah anak-anak menjadi dewasa. 

Saya akan sedikit berkisah di sini. Sebutlah seorang anak bernama Maru. Dari awal masuk sekolah dia sudah menunjukkan sikap ogah-ogahan. Pembelajaran dengan sistem daring dalam waktu lama membuat Maru semakin tidak bersemangat. Tugas yang diberikan guru tidak segera dikerjakan. Mungkin karena tidak ada alasan baginya untuk mengerjakannya. Tidak ada yang menegur. Tidak ada sangsi. Tidak ada yang menagih. Intinya, ketika Maru memilih tidak mengerjakan  pun tidak ada yang mengubah hidupnya, saat itu. Maka ketika semakin banyak tugas yang tidak dikerjakan dan waktu terus berlalu hingga saat batas akhir tiba, Maru seperti tenggelam di lautan tugas. Bebannya terlalu berat. Saat ia berniat mengerjakan tugas, ia sudah merasakan beban bahkan sebelum ia menyentuh tugasnya. Belum lagi rasa malas yang terpupuk subur selama beberapa waktu terakhir ini. Endingnya, Maru kehilangan minat untuk belajar. 

Ironisnya, orangtua tidak bisa menerima fakta ini. Orangtua tidak mau tahu penyebab hilangnya minat belajar ini. Sehingga orangtua terus menuntut agar Maru kembali ke sekolah.

Kembali ke awal tulisan ini bahwa sebagian kita menjadi ujian bagi sebagian yang lain. Maru menjadi ujian bagi orangtuanya. Demikian juga bagi Maru. Orangtua adalah ujian baginya. 

Setiap kali mendapati kasus seperti ini, saya selalu galau. Tak terbayangkan seandainya saya berada di posisi orangtua Maru. Saya tahu bahwa hidup adalah pilihan. Belajar tidak harus di sekolah. Lagi pula, faktanya sekolah bukan satu satunya faktor yang menentuka suksesnya seseorang. 

Tetapi masalahnya, apakah Maru yakin dengan pilihannya. Apakah Maru yakin dia bisa menerima akibat dari keputusannya? Bila tidak bagaimana? 

Di sini, memahami bahwa sebagian manusia menjadi ujian bagi yang lain, sangatlah penting. Namanya ujian. Jadi ya harus kembali pada anjuran bagaimana seharusnya kita menghadapi ujian. 

Bagaimana? 

Akan ada lanjutan dari tulisan ini, inshaallah. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...