Minggu, 31 Agustus 2025

Membaca, Menyimpan dan Menemukan Kembali


Saat masih kecil, ketika mengisi album kenangan, Saya selalu menuliskan hobi: Membaca. 

Dan memang seperti itu. Kegiatan membaca selalu berhasil membuat lupa waktu. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca. 

Oh ya, tugas yang harus saya kerjakan (saat masih kecil) setiap hari adalah menyapu lantai rumah, dari ruang tamu sampai ruang menuju lorong dapur. Setiap kali saya melihat sesuatu yang layak dibaca maka saya akan berhenti sejenak untuk membaca. 

Sejenak? Rasanya tidak. Karena ibu akan selalu berteriak dengan lengkingannya yang panjang untuk mengingatkan bahwa hari sudah semakin siang.
Saya membaca novel, membaca buku motivasi, membaca majalah, buletin atau apa saja. Mengunjungi perpustakaan setiap Minggu adalah hal yang sangat menyenangkan. Yang saya pahami, bahwa membaca adalah cara untuk melupakan masalah dan beban hidup. 

Seiring berjalannya waktu kegiatan membaca tidak seintens ketika saya masih sekolah/kuliah. Kalaupun harus melakukannya membaca bukan lagi saya lakukan dengan relaks tetapi karena tuntutan pekerjaan. Beda ya! Membaca karena tuntutan tentu tidak bisa memilih topik yang kita inginkan. Rasanya, gairahnya berbeda. 

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kunjungan dua orang teman. Entah mengapa saya niat sekali pamer buku usang dan kami berbincang tentang hobi ini. Rupanya dua teman ini juga memiliki hobi membaca. Salah seorang dari mereka bertanya: apa isi buku itu saya terapkan? Waktu itu saya mengatakan bahwa saya pernah membaca buku berjudul: membuka toko. 

Pertanyaan teman ini menggelitik ya. Membuat saya perlu merenung. Saya melakukan refleksi diri, apa yang saya lakukan setelah mendapatkan ilmu dari buku yang saya baca?

Hem... Biasanya sih setelah selesai membaca buku saya lupa isinya. Saya biarkan buku itu teronggok begitu saja. Dari beberapa buku ada point penting yang menarik dan terus menempel di otak. Tetapi tentu tidak banyak yang masih bisa saya ingat. Tetapi ternyata ilmu yang ada di buku itu tidak hilang begitu saja. Meskipun seperti berakhir setelah saya menyelesaikannya. Dia akan muncul suatu ketika -setelah bertahun-tahun kemudian ketika saya menghadapi masalah yang relate dengan apa yang ada di buku itu. 

Membaca memang bukan sekadar hobi, tetapi sebuah perjalanan. Kadang kita merasa isi buku hilang begitu saja setelah menutupnya, namun sebenarnya ia tertanam di sudut ingatan. Pada saat yang tepat, ilmu itu muncul kembali dan menolong kita. Itulah indahnya membaca: ia tidak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu waktu untuk berguna. Karena itu, meski kesibukan sering membuat kita lupa, jangan pernah berhenti membaca. Sebab, satu halaman hari ini bisa jadi jawaban untuk persoalan kita di masa depan


Sabtu, 30 Agustus 2025

Pernikahan: Antara Ekspektasi dan Realita


Tiba-tiba ada notifikasi pesan dari Ami. 
[Pesan lalapan gak?] 
[Boleh]
[Apa? Bebek]

Jeda beberapa menit karena saya sedang asyik membaca. Kemudian, 
[Bebek untuk ayahmu. Aku, lele]

[Lah kadung bebek semua]
[Yaa sudah, ga pa pa]

Obrolan receh ini mengingatkan saya pada artikel yang sedang saya baca. Jadi ceritanya saya  meminjam buku di perpustakaan online. Judulnya: Chicken soup for the soul; Bahtera Rumah Tangga. Judul artikel yang saya baca saat ini berjudul: Kisah Yang Berbeda, ditulis oleh Gina Farella Howley. 

Apa hubungannya? Tidak ada.

Tapi saya merasa ada sesuatu yang ingin saya sampaikan bahwa artikel yang saya baca itu mengandung pembelajaran. Tentang sebuah komitmen dalam sebuah pernikahan. Pernikahan bukan solusi dari permasalahan - karena faktanya justru disana akan ditemukan banyak masalah. Lalu dimana untungnya? Pernikahan tidak mencari keuntungan? Pernikahan memberi kesempatan kepada pelakunya untuk menikmati pengorbanan. 

Tidak semua pasangan adalah orang yang kita inginkan. Sebagian besar bahkan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Tetapi ketika seseorang bertahan dengan berbagai kesulitan, ketidaknyamanan dan banyak kompromi dalam sebuah ikatan pernikahan mungkin dia mempunyai alasan yang kuat. Pun demikian sebaliknya. Ketika seseorang memilih untuk menyerah pasti juga memiliki alasan yang kuat. 

Kadang-kadang kita diperdaya oleh keinginan dan harapan yang berlebihan. Berharap semua berjalan sempurna. Menikmati tidur yang nyaman, mendapatkan perhatian dari pasangan seperti yang ada di film-film romantis, mendapatkan sapaan hangat di saat tubuh merasa lelah, mendapatkan perhatian kecil yang bermakna dan harapan yang memenuhi pikiran sepanjang waktu. 

Faktanya tidak seperti yang kita inginkan. Seolah kita mendapatkan zonk dari kehidupan. Itulah yang membuat kita merasa lelah dan ingin menyerah. 

Kalau masalahnya pada harapan mungkin kita bisa menyelesaikannya dari sini. Mengubah harapan. Tepatnya menyesuaikan harapan sehingga jarak keduanya tidak terlalu panjang. Itulah yang harus saya lakukan. Tidak usah berharap lebih. Sekedarnya saja. Kalau kesampaian syukur kalau tidak ya tidak masalah. Tidak perlu kecewa berlebihan. Mungkin belum rejeki. Mungkin belum saatnya. Mungkin justru banyak mudharatnya dibanding manfaatnya. 

Kedengarannya seperti sedang menghibur diri sendiri. Kalaupun iya, tidak salah kan? Tidak ada yang datang menghibur kita, padahal  kita sangat membutuhkan, mengapa kita tidak melakukannya untuk diri sendiri. 

Jadi kalau tidak ada ikan lele maka bebek goreng pun sepertinya bukan sesuatu yang buruk. Mungkin kuncinya bukan menunggu yang sempurna tetapi mensyukuri yang ada. 
Bagaimana menurut Anda? 

Minggu, 24 Agustus 2025

Anda Hanya Butuh Cermin


Ketika berhadapan dengan masalah apa yang Anda lakukan? Apakah anda akan mengatakan bahwa kesalahan itu disebabkan oleh orang lain, keadaan atau Anda bertanya apa kontribusi Anda sehingga masalah itu terjadi? 

Sebagian besar orang memilih membebankan orang lain atau keadaan untuk bertanggungjawab. Hanya sebagian kecil yang mau mencari tahu apa kontribusinya dalam masalah itu. Padahal perbedaan kedua sikap ini akan menentukan apakah masalah itu akan terselesaikan atau tidak.

Ketika Anda menghadapi masalah, yang pertama Anda rasakan adalah ketidaknyamanan, kecewa, marah dan kalau perlu mengumpat dan menyayangkan mengapa masalah itu terjadi. Selanjutnya Anda akan menyampaikan serentetan pendapat untuk membuat masalah itu tidak terjadi. Sayangnya serentetan pendapat itu Anda sampaikan justru setelah masalah terjadi. Sehingga selantang apapun suara Anda, pendapat Anda itu sudah tidak berguna. Beda cerita bila Anda menyampaikannya sebelum masalah terjadi. Tapi yakinlah bahwa Anda tidak akan mengatakannya. Karena Anda bahkan tidak pernah memikirkannya. 

Begitulah. Pada kasus ini, masalah tidak akan segera teratasi. Mengapa? Karena semua orang sibuk mencari siapa yang salah. Siapa yang harus bertanggungjawab. Ujungnya, pihak yang harus bertanggungjawab tidak ketemu (karena tidak akan ada yang mengakuinya) dan masalahpun tidak teratasi. 

Sebaliknya, bila saat menghadapi masalah Anda berinstrospeksi, melihat ke dalam, kepada diri sendiri dan bertanya apa kontribusi Anda dalam masalah ini, Anda sedang berlaku adil pada diri sendiri. Anda mengakui bahwa setiap orang bisa saja melakukan kesalahan, termasuk Anda dan semua orang. Dengan mengakuinya berarti Anda sedang memberi ruang pada diri sendiri untuk bertumbuh memperbaiki kesalahan. 

Jujur adalah karakter mulia, yang seharusnya ditanamkan sejak kecil, sebagai karakter pondasi. Bukan hanya jujur kepada orang lain tetapi jujur pada diri sendiri. Bahasa kerennya berefleksi. Refleksi itu bisa dimaknai sebagai merenung, menilai sikap, tindakan, pengalaman yang tujuannya untuk memperbaiki diri sendiri. 

Jujur pada diri sendiri artinya, kalau Anda merasa bersalah ya akui. Jangan mencari pembenaran atau berusaha agar dianggap benar. Ketika Anda merenung, berdialog dengan diri sendiri, jawablah dengan jujur. Akui kalau Anda memang salah. 

Eits, tapi jangan berhenti sampai mengakui saja ya. Jangan lupa juga untuk menerima bahwa setiap orang bisa melakukan kesalahan termasuk Anda. Sampai di sini, kalau Anda bisa melakukannya, Anda akan merasa lega. Anda tidak akan dibebani rasa bersalah yang berkepanjangan. Karena ya itu tadi, sudah mengakui. 

Anda akan mudah  untuk melihat cara memperbaikinya. Tapi,  ketika Anda masih berkutat dengan argumen-argumen mencari pembenaran diri, jauh di lubuk hati, Anda akan terluka dan merasa bersalah. 

Bagaimana kalau orang memandang rendah atau menghakimi Anda karena pengakuan Anda? Pertanyaan inilah yang selalu menghantui dan membuat Anda tak pernah jujur pada diri sendiri. Padahal itu hanya  ketakutan yang tidak berdasar. Kalaupun ada yang merendahkan Anda, biarkan saja. Itu tidak akan mempengaruhi hidup Anda. Akan lebih banyak orang yang akan mendukung Anda dari pada orang yang menghakimi anda. 

Jadi jangan takut mengakui kesalahan. Justru dengan begitu Anda akan terlihat lebih dewasa dan lebih kuat. 



Sabtu, 16 Agustus 2025

Cerita Dari Kelas Belakang


Kejadiannya masih dua hari yang lalu, ketika saya masuk kelas di ruang 19. Kelasnya berada di gedung belakang. 

Sebelum memulai pelajaran saya menyempatkan dulu mengobrol dengan mereka. Ceritanya saya ingin mengkondisikan siswa untuk siap belajar. Iseng saya bertanya kepada mereka. 

"Kalau kalian diperbolehkan usul untuk menghapus atau menghilangkan mata pelajaran, mata pelajaran apa yang kalian ingin dihapus?"

Mereka terlihat saling pandang satu sama lain. Kemudian beberapa diantara mereka terlihat berbisik -bisik.

"Bolehkah Bu"? Tanya salah satu diantara mereka. 
"Ya ini berandai-andai saja. Gak mungkin juga ada mapel yang dihapus. Hanya berandai-andai" Saya menegaskan kalau ini hanya berkhayal. 

"Matematika!" Akhirnya salah satu diantara mereka berbicara dengan tegas, disambut persetujuan dari yang lain. 

"Bisa kamu jelaskan alasannya?" Tanya saya kepada siswa yang dengan tegas mengatakan bahwa ia ingin mata pelajaran matematika dihapus.

"Pusing bu"
"Ga mudeng Bu"
"Capek"

Yang saya tanya satu orang yang menjawab banyak. Masing-masing berebut ingin menyampaikan alasannya. 

Alhamdulillah suasana menjadi lebih santai. 
"Coba bayangkan, kamu menjadi seorang pengusaha. Di akhir tahun kamu ingin memberi bonus kepada karyawanmu yang jumlahnya banyak. Nah karena gak belajar matematika kamu gak bisa menghitung berapa bonus karyawanmu. Gimana dong?"

Hening sejenak. 
Tiba-tiba ada yang bergumam. 
"Nyuruh pegawai yang pinter ngitung"

Saya tersenyum.
"Masalahnya karena matematika dihapus dari kurikulum, semua orang tidak bisa berhitung. Nah, gimana?"

"Ya berarti jangan dihapus matematikanya!" Seorang siswa perempuan dari deretan bangku sisi kanan nyeletuk. 

"Iya, jangan dihapus. Nanti gak bisa ngitung susah semua" sambung yang lain. 

"Terus..." Sengaja saya menggantung kata-kata. 

Mereka saling bersahut-sahutan menyampaikan pendapatnya. 

"Gini Lo Bu.." usul siswa yang mengusulkan untuk menghapus mata pelajaran matematika. 
"Giman... Gimana?" tanya saya sambil mendekati mejanya. 

"Gak pa pa ada matematika, tapi cukup penjumlahan, perkalian, pengurangan dan pembagian saja. Gak usah ada singa singa itu. Pusing"

Saya mengerutkan kening. Apa maksudnya?

"Singa? Baru tahu saya di matematika ada singa"

"Ah itu lo Bu, yang cos, sin tangen" jelas siswa lain. 

Nah yang ini baru mudeng saya. Pasti mereka sedang belajar trigonometri. 
Suasana kelas menjadi sedikit gaduh. Tapi saya menikmatinya. 

"Bu jangan bilang ke guru matematika ya. Nanti kami dimarahi" kata siswa perempuan yang duduk di bangku paling depan. 

Saya tertawa. Ada-ada saja mereka. 

"Tugas kalian belajar. Belajarlah dengan sungguh-sungguh. Kalau kalian tidak bisa mengambil semuanya, ambillah sebagian. Yang penting kalian ikuti prosesnya" 

Semoga beban mereka berkurang setelah mereka menyampaikan uneg-unegnya meskipun mereka tahu itu tidak mungkin terjadi. 

Ketika kita belajar, kita memang harus tahu apa tujuannya mereka belajar (berkesadaran) dan  apa manfaatnya nanti dalam kehidupan mereka (bermakna). 

Karena itu adalah sumber motivasi mereka. Seandainya mereka tahu apa manfaat trigonometri dalam kehidupan nyata, mungkin beda cerita. 

Paling sering dilihat

Naik Kereta, Belajar Hidup

Usiaku sudah kepala lima. Tepatnya lima puluh enam jalan. Anak pertama ku sudah berusia tigapuluh dua tahun, anak keduaku berusi...