Diawali dengan sebuah pesan singkat yang aku terima tadi malam. Assalamu’alaikum. Bu saya Adin kelas XII
TKJ. Apakah ibu punya waktu besok? Saya ingin curhat.
Pesan singkat seperti
ini memang bukan hanya satu atau dua kali saja aku terima. Kurasa pesan seperti
ini hanya dikirimkan oleh anak-anak yang berani. Menyampaikan sesuatu atas
keinginan sendiri kepada orang lain (dalam hal ini guru) itu patut dihargai. Karena mereka tidak takut
menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi mereka, tidak peduli resikonya.
Seorang gadis belia. Usianya baru belasan tahun. Wajahnya tirus. Ia
bukan cewek yang pendiam, kemampuan akademisnya sedikit di bawah rata-rata. Di
dalam kelas ia sering menjadi sasaranku melempar gurauan-gurauan “parikeno”.
Pasalnya dia agak over dalam berpacaran. Dan dia juga bukan berasal dari kelas
perwalianku.
“Saya sebetulnya sudah tidak tahan pacaran sama dia bu” begitu dia
mengawali ceritanya.
“Dia itu kasar. Kami sering bertengkar hanya karena masalah kecil. Misalnya ketika saya
pulang duluan dan lupa sms dia. Saya mengerjakan tugas ke rumah teman, lupa
nggak kasih tahu dia. Saya bicara sama teman cowok. Dia tidak mau mendengar
penjelasan saya. Pokoknya kalau dia pas ngomong saya harus diam mendengarkan.
Tidak peduli apakah yang diomongin itu salah atau benar. Pokoknya dia kasar
sekali”
Dia terus bercerita tentang pacarnya.
“Sudah berapa lama kalian pacaran?”
“Satu tahun”
“Lama juga ya”
Yang aku tahu ABG jaman sekarang lama pacaran mereka hanya dalam
hitungan bulan. Nah yang ini setahun.
“Sikapnya yang seperti itu dari awal kalian pacaran atau baru-baru
saja”
“Sejak awal kami pacaran”
“Dan kamu tetap bertahan?”
Adin mengangguk.
Kupandangi wajahnya yang kusut. Sepanjang yang aku tahu wajahnya memang
tampak menyimpan masalah.
“Seberapa kasar sih dia?”
“Kasar sekali”
“Yah kasarnya seperti apa?”
“Membentak-bentak”
“Apalagi”
Cewek ini menunduk
“Memukul, menjambak” suaranya lirih
Aku kaget.
“Sampai menyakiti fisikmu?”
Adin mengangguk.
“Bohong ah” ktaku tak percaya. Ini sungguh sesuatu yang tidak masuk
akal. Masa iya laki-laki kecil yang masih ingusan berperilaku kasar seperti
itu.
“Iya bu. Kemarin dia menampar saya. Pas kami bertengkar. Bu Endah bisa
tanya Fitri kalau tidak percaya. Dia namparnya di depan Fitri”
Aku mengerutkan kening sambil menatapnya tajam. Mencari kesungguhan.
Mungkin dia benar, karena kemarin dia memang tidak masuk. Ijinya sakit.
“Karena itu kamu kemarin tidak masuk”
Adin mengangguk.
“Pusing bu. Saya nggak bisa bangun”
“Apa dia selalu memukul begitu kalau kalian sedang bertengkar?”
“Nggak sih. Tapi seringnya ya mukul gitu. Atau menjambak”
Hhuft, ngeri sekali membayangkan hal itu terjadi.
“Dia melakukan itu di depan orang lain juga?”
“Kalau kami bertengkarnya di depan orang lain, ya dia mukul aja”
“Kamu nangis diperlakukan seperti itu?”
“Nangisnya belakangan. Kalau dia sudah pergi. Aku tahan kalau di depan
dia”
“Dia pergi begitu saja setelah menyakiti kamu?”
“Iya”
Aku benar-benar emosi dalam hati. Sulit sekali mengendalikannya. Segera
kusadari syaraf-syarafku menegang. Suhu tubuhku meningkat beberapa derajat.
Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi.
Untuk beberapa lama aku benar-benar bungkam sambil terus memandangnya.
Aku mencoba menebak apa yang ada dibalik jidat cewek ini. Penganiayaan terjadi
pada dirinya tetapi dia tidak bisa menghindarinya. Padahal kalau menurutku apa
sulitnya.
“Kalian seharusnya putus” kataku geram.
“Aku sih maunya begitu”
“Lalu...”
“Dia tidak mau”
”Ya kamunya ngotot dong. Kalian toh belum terikat oleh hukum. Apa
susahnya?”
“Nggak berani. Nanti aku dipukul lagi”
O la la. Anak manis. Sadarkah kamu bahwa kamu akan menderita selamanya
dengan cara seperti itu?
“Kamu teraniaya dan kamu harus tegas. Kamu tidak perlu takut.
Orangtuamu pasti berada di belakangmu”
Adin menggeleng.
“Ibu sangat menyanyangi dia”
Hah! kok bisa?
“Semua keluargaku, ibuku, nenekku semua menyayanginya. Ibu yang selalu
minta dia menjemputku dan mengantar kemana aku pergi. Nenekku selalu bilang aku
yang harus sabar..”
“Tunggu dulu. Mereka tahu nggak kalau kamu diperlakukan kasar seperti
itu. Dipukul, dijambak atau diapakan lagi tadi. Disiksalah pokoknya?”
Adin menggeleng.
“Aku tidak pernah cerita tentang itu”
Aku menghela nafas panjang. Hubungan yang sangat rumit kurasa. Sungguh
sangat disayangkan dijaman yang serba merdeka, dimana hak asasi manusia
dilindungi, Undang undang perlindungan anak dan perempuan dibuat, informasi
berkembang seperti kereta express, tetapi masih ada orang yang terjebak dalam
keteraniayaan.
Aku benar-benar penasaran dengan kisahnya. Kuputuskan untuk tidak
segera mengambil tindakan dan justru berusaha menggali kian dalam. Kamipun
menghabiskan waktu dengan mendengarnya bercerita. Dia lahir dari keluarga
broken. Ayah dan ibunya bercerai. Ayahnya dan ibunya sudah menikah lagi. Dia
tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Ayah tiri dan ibunya tidak begitu
mempedulikannya. Beberapa urusan yang berkaitan dengannya justru dipasrahkan
pada pacarnya yang kasar itu. Adin justru akan kena marah kalau mereka
bertengkar.
Adin betul-betul menjadi pribadi yang sangat rapuh. Kerapuhan ini
dipicu dari lingkungan sekitarnya. Tidak sepenuhnya kesalahan Adin. Kondisi
keluarga yang kacau membuat Adin kehilangan semangat dan kehilangan panutan
hidup. Just do it. Melakukan mesin kehidupan seperti robot. Mengabaikan
perasaannya sendiri. Ia berdekatan dengan orangtuanya tetapi ia tidak
mendapatkan apa yang menjadi haknya yaitu perlindungan. Ia tumbuh dalam kasih
sayang yang salah kaprah. Kasih sayang yang menyakitkan.
Aku menyimpan kisahnya dalam beberapa hari sebelum aku memutuskan untuk
berbicara kembali dengannya. Aku berpikir keras untuk membantunya. Aku sadar
bahwa aku berada pada posisi yang sulit. Bagaimanapun sangat beresiko
mengintervensi keluarga siswa. Karena tidak semua orang suka diintervensi orang
lain meskipun tujuannya baik. Sulit juga berbicara dengan orang yang sudah
“hancur” dari awalnya. Mindset mereka tentang bahagia sudah terbentuk dan
kubilang itu karatan. Tidak semua orang rela mendengarkan orang lain karena
mereka meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah yang paling benar.
Tetapi membiarkan Adin sendirian bukanlah tindakan bijaksana. Ia telah
datang kepadaku, mempercayaiku untuk mendengarkan kisahnya. Jauh dilubuk
hatinya, pasti ia ingin mendengarkan pencerahan untuk mengobati hatinya yang
luka. Maka dalam kesempatan berikutnya kami berdiskusi. Kubangun kekuatan
dirinya untuk bertanggungjawab terhadap kebahagiaannya sendiri. Aku berharap ia
akan menemukan cara yang paling tepat untuk memperjuangkan kebahagiaannya.
Semoga ia bertemu dengan orang yang tepat. Wallohualam bisowaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar