Senin, 14 Desember 2020

Trend Baru Dunia Millenial: Prank




Beberapa hari terakhir ini, entah mengapa saya kok tertarik membuka video yang muncul di media sosial. Ikon video itu tiba-tiba saja ada dan menggoda untuk dibuka. Padahal satu video saja tidak cukup dan itu sangat menguras waktu. 

Mulailah melihat fenomena yang sulit saya pahami. Apakah gerangan itu? Prank. 

Ternyata fenomena prank itu menjadi trend. Saya akan membuat definisi ala-ala saya setelah menyaksikan beberapa video yang beredar. 

Prank itu semacam perlakukan seseorang atau sekelompok orang yang niatnya menjahili dengan tujuan untuk bercanda. Misalnya menuduh seseorang mencuri. Suasana dibuat sedemikian rupa sehingga tuduhan itu berkesan sebagai sesuatu yang bukan candaan. Suasana terbangun sedemikian rupa sehingga yang tertuduh begitu terpukul. Bagaimana tidak, dia dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Dipuncak kepanikan si korban, mereka berteriak prankk sambil memeluk untuk menenangkannya. Dan merekapun tertawa bersama-sama. Mentertawakan wajah bengong sang korban yang segera setelah sadar ikut-ikutan tertawa. 

Ini hanya sebuah candaan. Benar-benar candaan. Untuk lucu-lucuan saja. Agar hidup tidak membosankan dan tidak tegang. 

Ada rasa yang mengusik dalam diri saya berkenaan dengan fenomena prank ini. Sayapun berselancar. Membaca beberapa artikel terkait dengan lelucon ini. Tidak sedikit ahli yang mengkritisi aksi ini. Dari beberapa ulasan, yang nengatakan bahwa fenomena ini berdampak buruk lebih banyak. 

Saya pribadi sampai saat ini sulit sekali menemukan alasan untuk bisa menerimanya. Saya mencatat beberapa hal yang menguatkan alasan saya untuk mengatakan no terhadap fenomena ini. 

Pertama. Korban prank akan sakit hati mendendam. Dia akan menyusun rencana untuk membalas orang yang nge-prank dirinya. Harus lebih kejam biar lebih seru. Di sini fenomena prank menimbulkan penyakit hati yang berdampak pada kehidupan sosial. 

Kedua. Fenomena prank menumbuhkan budaya bahagia di atas penderitaan orang lain. Semakin si korban terlihat menderita semakin lucu dan memuaskan penge-prank-nya. Tentu saja dalam hal ini akan melunturkan kepekaan dan empati. Tidak peduli apakah hal itu membahayakan orang lain, yang penting bahagia. 

Ketiga. Apa sih manfaat prank? Saya tidak melihatnya selain untuk memuaskan sekelompok orang saja. Puas dalam batas apa? Ya sudah, puas saja. Ibaratnya seperti membeli barang yang sangat mahal tetapi tidak ada yang bisa diambil manfaatnya dari barang tersebut. Mubazir. Menghabiskan tenaga, menguras energi dan mungkin juga biaya tetapi tidak seimbang dengan manfaat yang yang diterima. Eit tunggu dulu. Tapi konten prank menuai banyak like dan itu dapat menghasilkan banyak duit. Oh ya. Saya tidak membantahnya. Tetapi mendapatkan uang dengan nenyakiti orang lain adalah tindakan yang merendahkan martabat manusia, baik martabat korban maupun pelaku. 

Itu menurut saya sih.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...