Kamis, 17 Desember 2020

Bahasa Tuhan


Bahasa adalah media untuk berkomunikasi. Dengan bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak maka pesan yang ingin disampaikan oleh seseorang dapat dipahami dan selanjutnya direspon sebagaimana seharusnya. Itulah kunci dasar komunikasi. Mungkin secara teori agak mbulet dipahami tetapi dalam keseharian kita sudah menerapkannya. 

Bagi orang yang mempercayai keberadaan Tuhan tentu meyakini bahwa dalam hidupnya tidak akan terlepas dari komunikasi denganNya. Tentu saja dengan cara yang khusus. Beribadah dan berdoa adalah salah satu bentuk komunikasi kita dengan Tuhan. Dia adalah Maha mengetahui apa yang tersirat dan tersurat. Tuhan adalah zat yang memahami semua bahasa. Di lain pihak, manusia tidak. 

Manusia seringkali tidak mendengar sinyal yang dikirimkan Tuhan kepadanya. Paling-paling yang dia tahu, kalau berdoa dan kemudian di lain waktu "doanya" terkabul dia beranggapan bahwa dia berhasil berkomunikasi dengan Tuhan. Benarkah anggapan itu? 

Tidak salah juga. Tuhan mendengar doa dan berkenan mentakdirkan sesuatu yang selaras dengan doanya. Tetapi komunikasi Tuhan dengan manusia tidak pernah terputus barang sedetikpun.  Seriusan!!. 

Dalam setiap detik waktu yang kita lewati, di sana ada bahasa Tuhan yang disampaikan kepada kita. Melalui apa? Melalui kejadian demi kejadian. 

Seperti misalnya, suatu ketika kita sedang sibuk melakukan pekerjaan yang sangat penting. Nah, di tengah kesibukan itu, eh tetiba listrik mati. Ini suatu kejadian yang berada di luar kendali kita bukan? Tetapi itu terjadi dan berdampak terhadap aktifitas kita. Saat itulah Tuhan sedang berkomunikasi dengan kita melalui kejadian listrik padam. Itulah bahasa Tuhan. Lalu apa pesan yang ingin disampaikan Tuhan kepada kita? 

Di sinilah kecerdasan spiritual seseorang mendapat tantangan. Ada orang yang mengomel-ngomel karena merasa terganggu dengan kejadian itu. Ia merasa rugi dan tidak diuntungkan dengan adanya kejadian itu. Dalam hal ini berarti dia tidak dapat menerima pesan yang disampaikan Tuhan kepadanya. Dalam bahasa sederhananya, dia tidak memahami bahasa Tuhan. Seperti orang yang sedang berbicara dengan orang beda suku yang tidak mengenali bahasanya. 

Namun, hal ini tidak terjadi dengan orang yang paham dengan bahasa Tuhan. Ada sesuatu yang tertangkap oleh hatinya. Setiap orang bisa menginterpretasikan bahasa Tuhan ini dengan kepekaan hatinya. Misalnya ada orang yang menangkap pesan bahwa ia diingatkan untuk beristirahat sejenak. Tuhan menyayanginya. Dia adalah seorang pekerja keras yang gila kerja. Sering melupakan waktu untuk beristirahat. Baru sadar bahwa tubuhnya perlu beristirahat saat dia sakit dan mengeluarkan banyak duit. 

Boleh dibilang  hanya orang-orang yang cerdas hatinya yang dapat mengenal, menterjemahkan dan meresponnya dengan positif. Orang yang cerdas hati itu adalah orang yang mata hatinya awas. Mungkin bisa diibaratkan hati itu adalah sensor. Orang yang mata hatinya awas akan sensitif saat menangkap sinyal dan merespon sinyal itu dengan benar. 

Mengutip prnjelasan Kyai Imron dalam salah satu kajiannya yang pernah saya lihat-dengar bahwa cara paling mudah brlajar memahami bahasa Tuhan adalah dengan cara menerima ketentuan Tuhan tanpa alasan.  

Mari kita buat sebuah contoh yang lebih konkrit untuk memahaminya. Ini seringkali terjadi pada hal-hal yang kurang menyenangkan. Karena keadaan tidak menyenangkan inilah yang biasanya secara naluri kita tolak. Kalau kejadian yang menyenangkan sih iya aja. Ya kan. 

Kejadian tidak menyenangkan itu misalnya laptop nge-hang disaat kita sedang sangat membutuhkannya. Saat kejadian itu menimpa kita, bagaimana perasaan kita? Kecewa, ya kan? Itulah yang saya katakan diawal sebagai naluri menolak sesuatu yang tidak menyenangkan. Tetapi segeralah berusaha menerimanya. Ok, saya terima ini sebagai ketentuan Tuhan. Ini adalah bahasa Tuhan yang harus diterjemahkan dengan baik? Apa pesan yang ingin disampaikan Tuhan kepada saya. Apa ya? Di sinilah pencarian itu dimulai. Adakah hal-hal positif yang bisa saya lakukan untuk meresponnya. Mungkin ada kesibukan lain yang harus saya kerjakan yang saat ini terbengkalai. Mungkin ada orang yang kita abaikan dan membutuhkan perhatian? Mungkin ada amalan yang kita tinggalkan? Dengan memperhatikan lingkungan kita akan menemukan tindakan yang tepat untuk meresponnya. Jadi alih-alih menggerutu dan menyalahkan keadaan, kita justru melakukan tindakan yang positif dan itu membuat kita menjadi lebih produktif. Menggerutu itu membutuhkan energi. Melakukan tindakan juga membutuhkan energi. Tetapi sama-sama membutuhkan energi, menggerutu akan menghambat produktifitas kita. Iya kan? Sebaliknya, bila kita menerima di awal, respon kita akan membuat kita lebih produktif. Endingnya, lebih bagus yang ptoduktif bukan? 

Begitulah, semoga bermanfaat 



 

1 komentar:

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...