Selasa, 22 April 2025

Berharap Sewajarnya, Bahagia Seutuhnya

Pernah kecewa? Saya yakin semua orang pernah merasakannya. Tapi, pernahkah kita merenung: kenapa kita kecewa? Dalam tulisan ini, saya mencoba mengurai akar kekecewaan dari sudut pandang sederhana: harapan. Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat—bahwa kebahagiaan, sejatinya, ada dalam kendali kita sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kecewa adalah perasaan tidak senang karena keinginan tidak terwujud. Dalam psikologi, disappointment adalah perasaan tidak puas yang timbul karena harapan atau ekspektasi yang tidak terpenuhi. Dua pengertian itu mirip. Intinya: kecewa muncul karena harapan tidak sesuai dengan kenyataan.

Misalnya, Anda ingin makan soto, tapi yang tersedia justru rawon.
Atau saat Anda memberi hadiah kepada seseorang, Anda berharap ia senang dan mengucapkan terima kasih dengan tulus. Tapi kenyataannya, ia menerimanya dengan datar.
Atau ketika Anda meminta sesuatu kepada seseorang, Anda berharap ia memberikan barang tersebut. Tapi ternyata, ia menolak.

Dari contoh-contoh di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa penyebab kekecewaan adalah harapan atau ekspektasi. Maka, jika ingin meminimalisasi rasa kecewa, Anda harus belajar mengendalikan harapan. Karena Anda tidak bisa mengendalikan orang lain. Anda tidak bisa memaksa orang lain memenuhi harapan Anda (kecuali mereka berada di bawah otoritas Anda). Yang bisa Anda kendalikan adalah diri sendiri—lebih tepatnya, ekspektasi Anda.

Bagaimana cara mengendalikan ekspektasi?

  1. Kenali harapan Anda.
    Dengarkan suara hati. Apa motivasi Anda melakukan sesuatu? Dari situlah harapan biasanya muncul. Dengan mengenali alasan atau motivasi itu, Anda akan menyadari harapan apa yang Anda punya.

  2. Sadari bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini.
    Selalu ada dua kemungkinan: harapan Anda bisa terwujud atau tidak. Jangan merasa bahwa harapan Anda pasti terpenuhi. Karena itu sudah di luar kendali Anda.

  3. Persiapkan diri untuk kedua kemungkinan.
    Jika kenyataan sesuai harapan—bagus, karena itulah yang Anda inginkan. Tapi jika tidak, maka itu berarti memang belum rezeki Anda. Belajarlah menerima.

Dalam kehidupan nyata, banyak sekali kenyataan yang tidak sesuai harapan. Setuju, kan?
Semakin Anda tidak mengenali ekspektasi Anda sendiri, maka Anda akan semakin mudah terjebak dalam harapan kosong. Dan semakin banyak harapan yang tidak terpenuhi, maka Anda akan semakin sering kecewa. Kekecewaan yang terus-menerus bisa menimbulkan frustasi. Dan jika Anda hidup dalam frustasi, maka Anda sulit merasa bahagia.

Contoh sederhana:

Anda punya seorang teman. Karena merasa nyaman, Anda ingin curhat. Anda berharap ia merespons cerita Anda dengan hangat. Tapi ternyata tidak. Anda pun kecewa.

Apa yang bisa Anda lakukan? Stop.
Sadari bahwa Anda tidak mendapatkan respon hangat dari teman tersebut. Fakta ini harus diterima. Anda tidak bisa memaksa dia merespons seperti yang Anda inginkan.
Jika Anda memaksakan harapan itu, lalu bertanya kenapa dia tidak sesuai harapan Anda, dan jawaban dia tidak memuaskan, Anda malah makin kecewa.

Mari kita berpikir jernih.
Kalau sejak awal Anda mengenali harapan Anda, lalu menyadari kemungkinannya bisa terpenuhi atau tidak, dan menyiapkan diri untuk keduanya—kekecewaan itu tidak akan membebani Anda.

Dari ilustrasi ini, satu hal penting bisa disimpulkan:
Kitalah yang bertanggung jawab terhadap kebahagiaan kita. Bukan orang lain.
Maka, bersiaplah menjadi bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paling sering dilihat

Undangan dari Langit

Dua puluh empat tahun yang lalu Suara riuh rendah para pengantar calon jemaah haji memenuhi halaman rumah limas kami. Hari ini, ayah mertuak...