Beberapa hari terakhir ini sedang viral perdebatan antara Gubernur Jawa Barat dengan seorang remaja tentang kebijakan penghapusan segala bentuk perpisahan atau wisuda sekolah. Bila Anda belum melihat dan penasaran, silakan cari cuplikannya di media sosial—pasti mudah ditemukan. Perdebatan ini ramai diperbincangkan netizen. Terlepas dari kebiasaan netizen yang memang cepat bereaksi, topik ini memang layak menjadi bahan renungan bersama.
1. Sudut Pandang Remaja: Perpisahan Itu Emosional
Bila dilihat dari sudut pandang remaja—atau siapa pun yang pernah menjadi remaja—nuansa perpisahan itu memang bisa terasa “menyesakkan”. Tiga tahun mereka menjalani proses belajar bersama-sama tentu menyisakan banyak momen berharga. Beberapa di antara mereka menjalin hubungan emosional yang erat dengan teman sekelas, guru, bahkan lingkungan sekolah.
Dalam dunia remaja, persahabatan bukan sekadar bermain bersama. Persahabatan adalah ruang eksplorasi identitas, belajar memahami orang lain, dan mengembangkan keterampilan sosial yang penting. Persahabatan juga menjadi tempat berbagi beban emosi. Maka, bisa dimaklumi jika mereka merasa kehilangan ketika prosesi perpisahan ditiadakan.
2. Sudut Pandang Orang Tua: Perpisahan Itu Pembiayaan
Di sisi lain, dari perspektif orang tua, perpisahan sering kali berarti biaya—dan itu bukan beban kecil. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dalam videonya menyampaikan bahwa ada orang tua yang sampai menangis karena tidak sanggup membayar biaya study tour. Ini bukan sekadar kisah individual, tapi fenomena sosial.
Di setiap sekolah, siswa datang dari latar belakang ekonomi yang beragam. Ketika sebuah acara dirancang terlalu mewah, maka tak semua orang tua bisa menjangkaunya. Tentu sulit mencari standar yang bisa diterima semua pihak. Perpisahan seharusnya menjadi momen bahagia, bukan sumber stres ekonomi.
3. Sudut Pandang Sekolah: Dilema antara Apresiasi dan Aksesibilitas
Bagi sekolah, perpisahan adalah momen apresiasi atas pencapaian siswa. Ini saatnya merayakan kerja keras, mengenang perjalanan bersama, dan melepas siswa menuju jenjang berikutnya. Namun, sekolah juga seringkali berada dalam dilema antara memenuhi ekspektasi siswa dan orang tua, atau menjaga nilai inklusivitas.
Ketika acara perpisahan dikelola oleh pihak luar atau panitia yang lebih fokus pada kemewahan, nilai-nilai pendidikan seringkali tersingkir. Sekolah terjebak antara keinginan untuk menyenangkan semua pihak, dengan tanggung jawab menjaga agar acara tetap sederhana, layak, dan menyentuh makna yang sebenarnya.
Lalu, Apa Solusinya?
Perdebatan ini tidak bisa diselesaikan dengan satu kebijakan hitam-putih. Yang dibutuhkan adalah ruang dialog: antara siswa, orang tua, dan sekolah. Barangkali yang perlu dilakukan bukan penghapusan total, tapi transformasi bentuk perpisahan. Dari pesta mewah menjadi seremoni yang sederhana, namun penuh makna.
Karena pada akhirnya, yang paling membekas dalam kenangan bukan gedung mewah atau gaun mahal, melainkan pelukan hangat guru, senyum teman, dan rasa bangga karena telah tumbuh bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar