Minggu, 28 Oktober 2018

Generasi Sehat, Generasi Makan Buah dan Sayur




Memasak adalah membahagiakan orang lain. Makanan yang enak bisa bikin bahagia. Lebih dari itu, memasak adalah sebuah kejujuran. 
(Ayu Widya)

Bismillahirrohmanirrohim, 

Sayur segar

Sebagai ibu, saya telah melakukan kesalahan fatal.  Saya mengabaikan pembelajaran tentang makanan kepada anak-anak.  Ketika mereka masih kecil, saya hanya fokus pada pemenuhan gizi mereka.  Sementara untuk urusan kemandirian dalam menyiapkan makanan, saya abaikan. 


Saya adalah ibu dari dua gadis. Kami tinggal di desa yang subur dan berhawa sejuk. Di desa kami, bahan makanan segar relatif mudah diperoleh. Kami biasa mendapatkannya di pedagang sayur keliling atau warung-warung sayur. Oleh karena itu saya jarang menyimpan bahan makanan terlalu banyak di kulkas. Lebih enak mengkonsumsi sayur segar.  Beberapa jenis sayur seperti bayam, kenikir dan daun ketela pohon  bahkan tumbuh subur di kebun kami. Jadi bila saya malas keluar, cukup memetiknya di belakang rumah. 




Sayur tumbuh di kebun belakang


Kedua  gadis kami, saat ini tidak tinggal bersama kami. Si sulung setelah lulus kuliah,  mendapat pekerjaan di Surabaya. Si bungsu, memasuki semester ketiga di DKV  Universitas Sebelas Maret. 


Saya beruntung menjadi orangtua mereka. Ketika masih kecil, mereka berdua tidak terlalu rewel dalam urusan makanan. Terutama si sulung. Dia menyantap semua jenis makanan yang saya sajikan. Semua jenis sayur dan buah dia suka. Daya tahan tubuhnya bagus. Dia jarang sakit.  Si bungsu, agak sedikit pemilih. Hanya beberapa jenis sayur yang dia suka.  Sayur favoritnya adalah bayam, wortel dan kangkung.    

Sayur asem olahan sendiri

Masalah mulai muncul ketika mereka tinggal berjauhan dari kami. Maklumlah, kami tinggal di desa. Tidak banyak pilihan perguruan tinggi, sehingga mereka harus hijrah ke kota lain. Dulu ketika masih tinggal bersama kami, urusan makanan, mereka tahu beres. Kalaupun membantu, mereka hanya saya minta membantu menyiangi sayuran atau mencuci piring. Sampai tiba saatnya mereka keluar dari rumah, mereka belum terbiasa memasak makanan sendiri. Maka ketika tinggal berjauhan dari kami, mereka memilih jalan pintas: beralih pada makanan instan. 

Saya pernah memprotesnya. Tetapi mereka mempunyai dalih yang cukup kuat. Menurut mereka, makanan instan lebih simple, tidak ribet membuatnya dan murah. Kalau kepingin sayur tinggal beli sayur yang siap dimakan.  

Sesederhana itukah permasalahannya? Ternyata tidak. Si sulung sering mengeluhkan kesehatannya.  Pusing, mulas, diare dan sariawan. Hampir setiap bulan ia mengunjungi dokter untuk berobat. Saya bukan orang yang paham benar tentang gizi, tetapi feeling saya mengatakan bahwa masalah ini disebabkan karena pola makan. 

Pertama masalah jadwal makan. Tugas kuliah yang menumpuk membuat Si Sulung  sering lupa makan. Kadang-kadang, saking asyiknya, dia baru merasa lapar saat malam tiba. Karena malas keluar, akhirnya dia menahan lapar sampai pagi. 

Kedua masalah kualitas makanan yang masuk ke perutnya. Kualitas bahan, kebersihan dan cara pengolahannya. Di Surabaya bukannya  tidak ada makanan sehat, tetapi sayang jatah bulanan si sulung hanya menjangkau makanan kaki lima yang kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. 

Terus terang, ini sangat menggelisahkan. Keluhan anak adalah bencana bagi seorang ibu. Mengintip statusnya yang hanya satu kata "laparr" membuat saya galau sagalau-galaunya. Coba bayangkan, apa yang bisa saya lakukan dengan jarak berkilo-kilo meter jauhnya. Benar-benar kekacauan yang tak bisa dikendalikan.  

Saya mulai berpikir untuk mengubah pola hidupnya. Ini bukan masalah sepele. Bila tidak diselesaikan, anak saya akan menghadapi masalah kesehatan yang serius di kemudian hari. Itulah yang saya yakini.  

Sungguh, ini bukanlah sesuatu yang mudah. Saya merayu  si  sulung agar memasak sendiri makanannya. Selain itu saya juga menganjurkan untuk  mengkonsumsi sayur dan buah.  Dia  hanya menanggapinya dengan anggukan kepala. Yah, hanya berhenti dianggukan kepala saja. 

Merasa rayuan saya dianggap sebagai rayuan gombal, saya memikirkan action berikutnya. Demi untuk mengubah pola makannya, setiap bulan saya mengunjunginya. Saya abaikan rasa capai dan pengeluaran ekstra yang menguras kantong.  

Saya mengunjunginya dengan membawa sayur mayur dari rumah. Sayur yang saya ambil dari kebun sendiri. Di tempat kosnya, saya ajak si sulung memasak dan menikmati bersama masakan kami. Awalnya dia hanya mau makan, tidak mau membantu memasak. Tetapi saya terus memaksanya. Sembari makan, saya mengobrol tentang manfaat makan sayur dan buah serta mengolah makanan sendiri. 
Melibatkan anak anak memasak sejak dini

Dikunjungan lain, saya mengajaknya belanja ke pasar tradisional. Di dekat tempat kosnya ada pasar tumpah. Si sulung menyebutnya Pasar Karmen, kependekan dari Karangmenjangan. Sebelum berbelanja, dia menentukan menunya. Menu  favoritnya adalah sop, sayur bening, sayur asem dan asem asem daging. Menu yang  sederhana tapi kaya sayur. Pasti sehat kalau diolah sendiri. 


Pasar tempat belanja sayur dan buah
Bagi sementara orang, buah segar merupakan makanan eksklusif. Harganya wow. Apalagi di Surabaya. Padahal siapa yang tidak tahu manfaat buah segar. Itu sebabnya saya tetap memaksa untuk membelinya. Di  dalam buah terkandung nilai gizi yang tinggi. Buah mengandung antioksidan dan vitamin yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh.  

Pepaya, kaya serat
Saya tidak pernah putus asa mengkampanyekan konsumsi sayur dan buah kepada mereka. Ternyata kampanye yang paling efektif adalah dengan cara membelikannya. Hemh... cerdas juga mereka. 

Lama kelamaan, perjuangan saya membuahkan hasil. Kesadaran pentingnya mengolah sendiri makanan dan mengkonsumsi sayur dan buah muncul  pada si sulung. Kesadaran itu muncul seiring dengan kesehatannya yang semakin membaik. Dia merasa membaiknya kesehatan itu setelah dia jarang sakit. Jarang berobat ke dokter. Karena kunjungan ke dokter berkurang, tabungannya semakin gemuk.   
Generasi makan sayur 

Akhirnya, dia menyimpulkan bahwa mengolah sendiri makanan, mengkonsumsi sayur dan buah dapat meningkatkan kualitas hidupnya. 
Kini, atas kesadarannya,  dia mengolah makanan sendiri dan mengkonsumsi sayur dan buah. Baginya, mengolah makanan sendiri, mengkonsumsi buah dan sayur sama pentingnya dengan menabung. Itu terbukti ketika  pindah kos, dia rela mencari kos yang ada dapurnya meskipun harga sewanya lebih mahal. 

Mengolah makanan sendiri, mengkonsumsi sayur dan buah sudah menyatu dengan pola hidupnya. Dia begitu kekeh mempertahankan kebiasaannya itu.  Kini sikap positifnya menular juga pada rekan-rekan kerjanya. Mulai dari membawa bekal sampai acara memasak bersama untuk makan siang mereka. 

Kesehatan adalah investasi, kata si sulung. 
Ah, indahnya menjadi seorang ibu.   

#tantangan7
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#nonfiksi




Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba penulisan pengalaman inspiratif BION 


#cappanahmerah

#gobioin2018

#generasimakansayurdanbuah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...