Jumat, 26 Juni 2020

Kekuatan Bercerita


Ini hanya obrolan ringan emak-emak yang sedang mencari teman berbagi. Kalau emak-emak bekerja yang bersepatu hak tinggi dan bergincu mungkin istilahnya berbeda, diskusi. Kadang-kadang kami para emak memang butuh suasana ini, saling berbagi cerita. Meski hanya obrolan ringan tapi kadang-kadang bermanfaat juga. Ada pembelajaran yang bisa saling ditularkan.



Saya tinggal di desa. Meski rumah dikelilingi kebun yang lumayan luas tetapi tetangga saya cukup padat. Ada rumah cuci atau laundry di sebelah rumah yang punya beberapa pegawai. Usaha rumahan. Pegawainya juga masih kerabat dekat. Ada seorang pegawai cuci dan dua orang pegawai yang tugasnya menyeterika. Di waktu senggang saya suka bertandang ke rumah laundry itu. Kadang untuk urusan tertentu kadang-kadang hanya sekedar mencari teman ngobrol sambil menyelesaikan proyek rajutan.
Sore ini obrolan kami seputar ppdb. Kebetulan ada dua anak yang sedang alih jenjang pendidikan. Sebagai guru, saya menjadi narasumber untuk info seputar PPDB terutama yang dilakukan di sekolah saya.

Memang, tahun ini PPDB menimbulkan kepusingan tersendiri bagi orangtua. Semua kegiatan dilakukan secara online. Masih banyak hal yang belum dipahami dengan baik tentang kegiatan ini. Banyak pertanyaan yang ingin mereka ajukan, banyak informasi yang ingin diketahui oleh masyarakat.
Awalnya obrolan kami memang berkisar tentang jegiatan PPDB tetapi lama kelamaan sampai pada pola asuh anak. Kami sepakat, memiliki anak yang "baik-baik saja" adalah anugerah. Anak-anak yang belajar dengan rajin meski tidak mendapatkan prestasi maksimal, mau mendengarkan nasehat dan tidak menyusahkan orangtua adalah bonus dari Tuhan. Tak terkirakan bonus ini, mengingat masih banyak orangtua yang harus pusing karena anak-anak mereka yang tingkahnya membuat pusing kepala.

Sayapun bercerita. Tepatnya berbagi pengalaman. Ini tentang kebiasaan bercerita. Saya memang sering bercerita kepada anak-anak, tentang apa saja. Kadang cerita fiksi yang saya reka-reka sendiri dan tidak jarang saya bercerita tentang masa kecil saya, hubungan saya dengan saudara kandung dan nasehat-nasehat orangtua yang selalu saya ingat karena menurut saya sangat penting. Anak-anak sangat senang mendengarkan cerita itu. Mereka mengambil pelajaran dari cerita-cerita nyata tentang kehidupan orangtua dan kakek-neneknya.

"Kalau saya tak pernah menceritakan kisah saya?" kata salah seorang emak yang diiyakan oleh emak yang lain. Alasannya karena masa lalu para emak ini kurang bagus. Menurut pengakuan emak-emak ini, kisah mereka tak layak diketahui anak-anak. Saat sekolah mereka berani kepada guru dan menurut pengakuan mereka, mereka termasuk remaja bermasalah.

Terus terang saya mati gaya. Ungkapan tanpa tedeng aling-aling dari dua emak ini membuat saya merenung. Sebetulnya saya yakin ada kisah baik mereka yang layak dibagi kepada anak-anak. Bahwa mereka merasa kisahnya tidak layak diketahui anak-anak mereka, tentu itu sangat berlebihan.

Tetapi, ada yang perlu digaris bawahi di sini, bahwa jejak-jejak kehidupan manusia itu memang perlu direncanakan sejak awal.

Masa lalu itu selalu menarik untuk dibicarakan. Dulu, saat masih kecil saya sering mendengar cerita dari nenek, ayah dan ibu tentang masa lalu mereka. Kisah perjuangan mereka selalu heroik bagi saya.

Suatu ketika, nenek harus berhemat makan seadanya demi menyekolahkan anak-anaknya. Setiap panen, padi ditumbuk menjadi beras dan dibawa ibu dan saudara-saudaranya ke rumah kakak nenek. Di sanalah anak-anak nenek dititpkan. Jaman dulu istilahnya dingengerkan, agar anak-anak nenek dapat bersekolah. Begitu mahirnya nenek bercerita sehingga saya dapat menghayati perjuangan nenek kala itu.

Bukan hanya nenek, ibu juga menceritakan hal yang kurang lebih sama. Berjuang keras mencari ilmu agar pandai dan menjadi orang. Di rumah pakdenya, ibu harus membantu pekerjaan rumah. Yang laki-laki bekerja di sawah dan memelihara ternak yang perempuan membantu mengurus rumah dan memasak. Saat makan tiba, mereka mengelilingi meja makan dan menyantap makanan seadanya. Setelah itu mereka harus merapikan dan mrncuci bersih peralatan makan baru mereka belajar diawasi oleh sang pakde yang saat itu menjabat sebagai mantri kesehatan, jabatan yang cukup terhormat di keluarga nenek saya.

Cerita ayah juga kurang lebih sama. Cerita tentang perjuangan dan kisah-kisah yang layak untuk diteladani. Kadang-kadang ayah bercerita tentang nenek yang selalu menjaga ibadahnya. Di lain waktu ayah bercerita tentang seru-serunya ngaji bersama teman-temannya.

Semua terpatri indah di benak saya. Semuanya menjadi pembelajaran yang menyemangati saya melewati hari-hari dalam perjalanan hidup.

Demikianpun saya. Saya mempunyai banyak cerita, tentang masa kecil yang menyenangkan sekaligus penuh perjuangan. Tentang rasa pedih ketika ibu meninggal saat saya masih duduk di bangku SMP. Tentang masa remaja yang juga penuh perjuangan. Harus tinggal di rumah paman, uang saku yang terbatas, kehabisan uang di tempat kos, kiriman uang yang terlambat dan sebagainya.

Saya rasa setiap orang memiliki kisah yang layak dibagi ke generasi sesudahnya.

Apakah semua kisah yang kita miliki selalu baik? Tentu tidak. Ada hal-hal kelam yang saya sebut sebagai kesalahan. Di saat yang tepat, saya juga menceritakan kesalahan saya kepada anak-anak. Saya katakan kepada mereka bahwa setiap orang tua memiliki kesalahan yang harus diperbaiki oleh anak-anak mereka. Tugas anak-anak adalah memperbaiki kesalahan orangtua agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Meskipun begitu, mereka nanti juga akan melakukan kesalahan pada bagian yang lain. Generasi berikutnya akan memperbaikinya. Begitu seterusnya.

Saya merasa tidak terbebani ketika harus menyampaikan kesalahan itu kepada anak-anak. Kesalahan itu harus diluruskan. Biarlah anak-anak menilai dan memutuskan apa yang seharusnya mereka lakukan kalau mereka menjadi saya saat itu. Hal itu sering menjadi diskusi panjang yang sarat makna kehidupan.

Berdasarkan pengalaman sebagai orangtua, menceritakan kisah masa lalu cukup efektif untuk pembentukan karakter.

Tak jarang mereka menagih cerita tentang eyang putri mereka. Meski tak pernah bertemu, sepertinya anak-anak cukup akrab dengan leluhur mereka. Mereka mengaku lebih senang dinasehati melalui cerita dari pada dimarahi, meski keduanya bertujuan sama.

Apakah ada pembaca yang memiliki pengalaman serupa dengan saya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...