Kamis, 24 Desember 2020

Stop, jangan bandingkan aku dengan orang lain!

Stop, jangan bandingkan aku dengan orang lain!

Ini adalah catatan saya sebagai wali kelas. Wali kelas itu ibaratnya adalah wakil dari orangtua untuk mengurus  sekian banyak anak yang usianya  hampir sama yang masing-masing membawa permasalahan yang berbeda. Kebayang kan, betapa ruwetnya. Orangtua saja yang mengurus dua atau tiga anak saja pusing apalagi wali kelas. Ya kan?Tetapi saya bersyukur menjadi wali kelas karena dengannya saya menjadi kaya. (Kaya masalah maksudnya). 

Saat paling seru bagi seorang wali kelas adalah saat menjelang pembagian raport. Bukan hanya repot merekap semua rekaman aktifitas akademis dan karakter siswa perwalian selama satu semester saja. Tetapi juga harus berlapang dada menerima laporan dari rekan sejawat karena siswa perwalian berulah. Ada yang masih punya tanggungan tugas atau masih belum melengkapi penilaian.  Benar-benar menguras energi. 

Tetapi di sinilah uniknya. Ketika masalah muncul, intensitas komunikasi saya dengan mereka srmakin meningkat. Kesempatan  "mengobrol" dengan mereka semakin luas. Di sini saya semakin sadar bahwa siswa-siswa yang "bermasalah" ini sejatinya membawa sesuatu dalam dirinya.  

Judul tulisan ini saya simpulkan sebagai protes mereka yang berkesempatan mengobrol panjang dengan saya. Tidak hanya satu atau dua tapi beberapa di antara mereka. Itulah protes mereka terhadap keadaan.  

Tuh, lihat kakakmu, pinter. Nilainya bagus. Gak pernah bikin masalah. Nggak kayak kamu, bikin masalah aja. Sudah gitu gak punya prestasi. 

Itu hanya salah satu contoh saja, kalimat yang dapat melukai hati mereka. Dibandingkan dengan saudara, teman atau bahkan artis adalah cara yang paling kejam untuk menjatuhkan mental anak-anak. Namun sebagai orang dewasa kita sering mengabaikannya. Saya katakan orang dewasa di sini, karena fenomena membandingkan ini tidak hanya dilakukan oleh orangtua tetapi seringkali dilakukan oleh guru atau siapapun yang ada di lingkungan mereka. 

Fenomena membandingkan ini kalau dilihat dari sudut pandang anak adalah cara sadis untuk meruntuhkan mental mereka. Tetapi dari sudut pandang orangtua tidak demikian. Orangtua melakukan itu karrna ingin menyadarkan anak bahwa ada hal baik yang bisa dicontoh dari orang lain. Dua sudut pandang yang sangat bertolakbelakang ini tentu saja tidak dapat disatukan. 

Maka harus diambil jalan tengah. Niat orangtua untuk memotivasi anak bisa berhasil dan di sisi lain, anak tidak merasa direndahkan. Bagaimana caranya? 

Ajaklah anak berdiskusi. Ingat ya, berdiskusi bukan engkel-engkelan. Biasanya kita terjebak dalam debat kusir yang tidak menyelesaikan masalah. Jangan sampai hal itu terjadi. Caranya adalah dengan meminta anak berpendapat tentang contoh yang kita maksud. Mulailah dengan pertanyaan  seperti ini, "Bagaimana menurut pendapatmu tentang kakak/adik?" Selanjutnya biar anak mengemukakan pendapatnya. Mungkin pendapatnya berbeda dengan pendapat kita. Tapi bertahanlah untuk tidak menyerangnya. Di saat giliran kita berpendapat, sampaikan pendapat kita secara proporsional. Tidak perlu berlebihan. 

Pilihlah saat yang tepat untuk berdiskusi. Berdiskusi yang baik dilakukan saat emosi kita dan anak stabil. Kita tidak sedang marah atau jengkel. Karena bila ini terjadi diskusi itu tidak akan efektif. Yang terjadi justru sebaliknya. Hubungan kita semakin renggang dan anak akan semakin terluka. Jadi tahan dulu untuk memilih waktu yang tepat. 

Beri kesempatan anak  untuk menyampaikan pendapat. Ini sangat penting karena pada dasarnya setiap orang ingin didengarkan. Jadi bukan hanya orangtua yang ingin didengarkan tetapi mereka juga ingin didengarkan. Boleh jadi pendapat mereka bertolak belakang dengan pendapat kita, tetapi terimalah. Menolak pendapat mereka tidak secara otomatis membuat mereka mengikuti pendapat kita. Jadi percuma juga menolak dan memaksa mereka. Yakinlah bahwa itu tidak akan berhasil. Akan lebih baik bila kita ajak mereka untuk memikirkan konsekwensi atau resiko yang akan terjadi.  

Hargai capaian mereka. Satu hal yang sering kita lupakan adalah menghargai capaian mereka. Bukan capaian dalam arti prestasi yang spektakuler ya. Capaian di sini adalah sesuatu yang berhasil mereka capai setelah mereka berusaha. Sekecil apapun. Misalnya ketika anak-anak bangun pagi. Ketika anak-anak pulang tepat waktu. Ketika anak-anak mengerjakan tugas yang kita bebankan kepada mereka. Srbagian orang menganggap semua itu hal remeh temeh. Tetapi mungkin menjadi sesuatu yang berarti bagi mereka. Meskipun mereka tidak mengungkapkan bahwa mereka ingin dihargai tetapi bukan berarti mereka suka diabaikan. Bagi mereka penghargaan itu adalah penyemangat untuk meningkatkan capaian mereka. Karena setiap individu unik, maka tak perlulah kita membandingkan antara satu dengan yang lain. 

Bangun komunikasi. Membangun komunikasi sangat penting dalam hubungan antar manusia, terlebih hubungan antar orangtua dan anak. Prinsip dasar komunikasi adalah menyampaikan pesan. Orang yang terlibat dalam komunikasi masing-masing berperan sebagai penyampai pesan dan penerima pesan. Pesan yang diterima oleh penerima pesan harus sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan. Bila tidak maka akan terjadi gagal paham yang berpotensi menimbulkan konflik. Jadi kalau ingin menyampaikan pesan pastikan anak-anak memahami dengan benar pesan yang kita sampaikan. Bila mereka tidak memahaminya jangan buru-buru menganggap mereka bodoh. Boleh jadi cara yang kita pilih untuk menyampaikan pesan itu yang salah. Boleh jadi bahasa kita tidak dipahami olrh mereka. Boleh jadi pesan kita sampaikan pada saat yang tidak tepat. Jadi lakukan koreksi pada diri sendiri. 

Semoga kita menjadi orangtua yang bijaksana. 



5 komentar:

Paling sering dilihat

Mental block

Selasa pagi, Maret 2024 Tulisan ini saya tulis sambil menunggu waktu. Eh waktu kok ditunggu. Salah ya. Seharusnya waktu dimanfaatkan sebaik-...